Minggu, 23 Oktober 2016

Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua Bermula dari informasi tim penelitian geologi di zaman Belanda, Freeport melacak jejak harta karun di perut bumi Papua. Ditolak Sukarno, diterima Soeharto.

Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua
Bermula dari informasi tim penelitian geologi di zaman Belanda, Freeport melacak jejak harta karun di perut bumi Papua. Ditolak Sukarno, diterima Soeharto.

PADA 1959 Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya. “Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu-Red.) dan menemukan badan bijih (ore body) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey.

Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.”

“Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.”

Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua.

Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia.

Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno.

Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya.

Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua.

Pada April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.

Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa.

Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan.

“Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie.

Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanad, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.”

Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.

Sumber : https://www.google.co.id/webhp?hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiwydLUmPHPAhUgSY8KHVUiBmQQPAgD

Sumber : http://historia.id/modern/melacak-jejak-silam-freeport-mengeksploitasi-bumi-papua


ADA BENDERA ALAM PEUDEUNG MILIK KESULTANAN ACEH DI MUSEUM NASIONAL COPENHAGEN DENMARK

ADA BENDERA ALAM PEUDEUNG MILIK KESULTANAN ACEH DI MUSEUM NASIONAL COPENHAGEN DENMARK

Tulisan ini pertamanya di tulis oleh Tarmizi Age pada 04 Juli 2007 atas nama KMPD Perwakilan Eropa dan ASF di Denmark, dan sudah pernah dipublikasi lalu kemudian admin yang bertindak sebagai editor fanspage Sejarah Dunia memposting kembali tulisan ini guna menambah wawasan kita bersama.

di antara barang-barang yang sangat hebat di Museum Nasional Compenhagen Denmark terdapat selembar bendera Kesultanan Aceh Darussalam yang pernah digunakan di antara tahun 1850-1904. Bendera itu terlihat bewarna merah dan dihias dengan bulan sabit, bintang dan dua buah pedang.

Bendera itu merupakan barang berarti politik yang mungkin berkaitan dengan perang antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang terjadi pada tahun 1873-1904.
Aceh adalah sebuah bangsa yang sudah maju sejak zaman-berzaman dahulu, ini bukan suatu isu atau propaganda murahan tapi ia bisa disaksikan oleh bukti-bukti sejarah yang tersimpan bagus di museum-meseum Eropa. KMPD (Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi) perwakilan Eropa dan ASF di Denmark berusaha menelusuri kejayan masa lalu negara Kesultanan Aceh. Hasil usaha KMPD dan ASF membuahkan hasil, museum di Denmark misalnya telah mengantar seratusan gambar-gambar bukti sejarah zaman dulu kepada Ketua KMPD Eropa melalu perantara yang digunakannya. Barang-barang Aceh zaman dahulu tersimpan di Musem Nasional Denmark (Nationalmusset), di dalam gedung istana lama yang sangat besar itulah tersimpan seratusan barang-barang Aceh kuno sebagai salah satu bukti bersejarah.


"Tidak kurang dari 140 barang antik yang sangat indah berasal dari Aceh. Koleksi barang etnografis itu dikumpul oleh penjelajah, pedagang, ahli antropologi atau pelayar yang membawa barang-barang ini dari negara Aceh". kata Bente Wolff, kepala bagian India, Asia Tenggara dan Oceania di kolleksi etnografis, Museum Nasional di København, kepada Marie Bjørnager Jensen salah seorang mahasiswa di sebuah Universitas di Denmark jurusan antropologi yang mengambil subjek tentang Aceh.
Antara barang-barang tersebut adalah selendang dan perisai dari Aceh itu disebut penjaga museum merupakan barang yang sangat berarti dan unik untuk negara Denmark yang diberikan kepada museum oleh perbendaharaan kerajaan Denmark. Pisau perak merupakan barang yang paling kuno, ia dibuat pada tahun 1748. Ada juga sebuah tempat rokok, yang dulu diberikan kepada Raja Denmark sebagai hadiah, namun hasil penelusuran KMPD dan ASF yang juga di bantu Marie belum dapat mendeteksi hadiah dari siapakah itu, apakah dari Sultan Aceh atau dari para saudagar.

”Sangat baik kalau pribumi dari negara asal barang di koleksi etnografis melihatnya dengan mata sendiri”, kata Bente Wolff, kepala bagian India, Asia Tenggara dan Oceania di koleksi etnografis, Museum Nasional di København. Melihat barang kuno Aceh di Denmark, jadi kita bisa bayangkan kehidupan orang Aceh 100-200 tahun yang lalu. Selendang dan celana berbenang emas, kain kepala, topi dan kalung, anting-anting dan rem dari perak, batang rokok dan bungkusnya, ada tembakau dan gunting, tikar yang berdesain indah dan penutup makanan dibuat dari daun pisang dan kertas berwarna cerah, lampu berhiasan burung kecil, bisa tahu indahnya di dalam rumah Aceh dulu.

kepentingan agama seperti kain suci untuk beribadah yang terhias dengan desain islam yang di bordir dengan benang perak atau berberapa batu kuburan juga terdapat di museum ini.
Dengan terdapatnya barang-barang Kesultanan Aceh di museum-museum Eropa seperti di Denmark, maka KMPD Perwakilan Eropa dan ASF di Denmark meminta Pemerintah Aceh dan pihak Museum Negeri Aceh untuk mengambil tidakan-tindakan lobi yang tinggi guna membawa pulang barang-barang berharga Aceh yang ada diluar negeri tersebut.

Sumber : http://waa-aceh.org/bendera-aceh-di-museum-nasional-copenhagen-denmark/
Sumber : https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8

Pengikut