Selasa, 09 Februari 2016

Selisih Shih-Li-Fo-Shih.

Selisih Shih-Li-Fo-Shih
Di negeri Shihlifoshih, kita melihat bahwa bayang-bayang welacakra [jam matahari] tidak menjadi panjang, atau menjadi pendek pada pertengahan bulan delapan,” demikian tulis I-Tsing dalam catatannya.
“Pada tengah hari, tak tampak bayang-bayang orang yang berdiri di bawah matahari.” I-Tsing pun menunjukkan letak Shihlifoshih berada di garis lintang yang sama dengan posisi matahari saat itu. “Matahari tepat di atas kepala dua kali satu tahun. Kalau matahari di sebelah selatan, bayang-bayang membujur ke utara; panjangnya lebih kurang dua atau tiga ch’ih. Kalau matahari di sebelah utara, bayang-bayangnya sama, tetapi jatuh ke selatan.”
I-Tsing merupakan pendeta Buddha asal Cina. Dia singgah ke Shihlifoshih antara 671 dan 695, diselingi perjalanan ke India dan bermukim di Nalanda sekitar 672 hingga 685. Dia diperkirakan menulis kisahnya pada periode 690 hingga 692.
Di manakah Shihlifoshih itu? Persoalannya, kabar dari Cina tentang toponimi di lautan sebelah selatan kadang membingung ahli sejarah. Pasalnya, nama tempat dicatat dalam bahasa Cina berdasar indra pendengaran sang penulis, dan penentuan lokasinya berdasarkan jam matahari.
Baru pada awal abad ke-20, atau sekitar 1.200 tahun setelah I-Tsing selesai mencatat perjalanannya, secuil misteri terpecahkan. Shihlifoshih diduga kuat berkaitan dengan lokasi sebuah negeri bernama Sriwijaya. Per¬debatan panjang di mana lokasi Sriwijaya telah mengerucut pada tiga kawasan di sekitar khatulistiwa Sumatra, yang juga diduga sebagai tempat bermukim I-Tsing.
Ketiga kawasan tersebut adalah Bukit Siguntang di Palembang, Candi Muarajambi di Jambi, dan Candi Muara Takus di Riau. Jika tempat tinggal I-Tsing di Shihlifoshih dapat diketahui, tersingkaplah teka-teki lokasi Ibu Kota Sriwijaya. “Upaya saya mengulangi pengamatan astronomis I-Tsing berhubungan erat dengan upaya mengidentifikasi lokasi I-Tsing berdiam,” tulis Hudaya Kandahjaya dalam surelnya kepada The Society of Muarojambi Temple (The SOMT) pada pertengahan 2011.
Hudaya merupakan peneliti di Numata Center yang berkantor tak jauh dari University of Berkeley, California, Amerika Serikat. Lembaga tersebut berkiprah dalam penelitian dan alih bahasa naskah Buddha dalam kitab Tripitaka. Dia sendiri lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Sementara, The SOMT adalah komunitas peduli terhadap kelestarian Candi Muarajambi, yang dimotori secara swadaya oleh warga sekitar situs warisan leluhur Sumatra itu.
Saat kunjungan pertamanya ke Muarajambi, Hudaya terkesan atas melimpahnya temuan arkeologis seluas hampir tiga ribu hektare tersebut, ketimbang temuan di Riau dan Palembang. Kenyataan ini mendorongnya untuk menghubungkan dengan tempat I-Tsing bermukim. Namun, dia tak berpuas diri hanya dengan kesimpulan itu.
Hudaya memprakarsai rekonstruksi peng¬amatan astronomis dengan bantuan tenaga pengamat lapangan dari The SOMT. Pengamatan pertama berlokasi di kompleks Muara Takus yang dilakukan tengah hari pada tanggal 15 bulan kedelapan kalender Cina (12 September 2011)—waktu yang tepat seperti kisah I-Tsing. Hasilnya, mereka masih menjumpai bayangan walaupun lokasinya paling dekat dengan khatulistiwa.
Lokasi kedua adalah kompleks Muarajambi. Namun, pengamatan astronomis di situs ini dilakukan tepat pada saat matahari di atas Muarajambi, yaitu pada tanggal 1 bulan kesembilan dalam kalender Cina (27 September 2011). The SOMT mengirimkan laporannya lewat surel—baik teks maupun visual—kepada Hudaya. “Telah terjadi bahwa bayangan dari pipa paralon yang digunakan sebagai pengukur, hilang bayangannya,” demikian tulis The SOMT.
Hudaya membalas surel mereka, “Ini semakin mendekatkan kita pada kesimpulan bahwa Muarajambi adalah lokasi I-Tsing tinggal.” Kemudian saya berdiskusi dengan Hudaya tentang temuan mereka lewat surel. Saya melayangkan kepadanya sebuah pernyataan bahwa “ketiadaan bayangan di Muarajambi yang terjadi setelah pertengahan bulan kedelapan merupakan suatu kenampakan berbeda dari catatan I-Tsing.”
“Kekeliruan muncul dalam banyak tulisan cendekiawan sebelum ini yang menyinggung soal pengamatan astronomis I-Tsing,” balas Hudaya mengoreksi pendapat saya. Menurutnya terdapat aspek astronomis dalam catatan pendeta Buddha itu yang tidak disimak semestinya.
“Peristiwa yang dialami I-Tsing bersifat khas.”
Artinya, pertengahan bulan kedelapan (atau bulan kedua) penanggalan Cina yang bersamaan dengan zenit di belahan Bumi selatan tidak terjadi setiap tahun, ungkapnya. “Saat yang khas itu terjadi pada tahun 690, pada masa I-Tsing menulis catatannya.”
Peristiwa langka itulah yang dibuktikan Hudaya dengan menghitung ulang kejadian astronomis dan periode penulisan I-Tsing. “Ini merupakan hasil terpenting dari pembuktian matematis cum astronomis terkait pengamatan dan catatan I-Tsing,” ungkapnya. “Pembuktian ini sekaligus mengeliminasi Muara Takus maupun Palembang sebagai calon lokasi kediaman I-Tsing.”
Namun demikian, Hudaya menambahkan bahwa pengamatannya masih belum sempurna. Dia juga masih berencana untuk membandingkan pengamatan serupa di Bukit Siguntang, sebuah situs lain yang diduga menjadi pusat keagaamaan pada masa Sriwijaya awal di Palembang. “Saya sendiri belum sempat merampungkan tulisan lengkap mengenai topik ini,” ungkapnya. 
Jika Hudaya mencari lokasi I-Tsing bermukim dengan menentukan situs arkeologis kemudian baru mencocokkannya dengan tinggi dan posisi matahari dalam catatan pendeta itu, Eadhiey Laksito Hapsoro melakukan hal sebaliknya.
Pernyataan lain dikemukakan oleh Eadhiey, seorang astro-arkeolog, yang pernah melakukan penghitungan astronomis berdasarkan tinggi dan posisi matahari untuk mencari tempat tinggal I-Tsing. Penelitian tersebut pernah dipaparkan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi 1989. Dia berpedoman pada sepuluh hari pertengahan bulan kedelapan kalender Cina dan posisi deklinasi matahari pada 671 sampai dengan 695.
Eadhiey mendapat dua simpulan. Pertama, lewat pendekatan titik balik matahari (solstice), lokasi I-Tsing diduga di sekitar Upang Sungsang di utara Palembang. Kedua, jika menggunakan metode pendekatan musim (posisi matahari terhadap khatulistiwa), Eadhiey memperoleh lokasi di sekitar Kuala Tungkal, kota kecil di muara Sungai Pangabuan, Jambi.
Namun, inti yang sejatinya tersirat dari penelitiannya adalah “Bahwa penggunaan berita I-Tsing tidak serta merta bisa menentukan sebuah lokasi,” kata Eadhiey.
Tampaknya tidak ada bayangan di tengah hari adalah sesuatu yang spesial bagi I-Tsing, demikian hemat Eadhiey. Sedangkan di Indonesia hampir tidak dijumpai bayangan di setiap tengah harinya. Itulah sebabnya gnomon harian (instrumen kuno dalam penghitungan waktu harian) tidak populer di Indonesia.“Saat siang, bayangan di khatulistiwa hampir tidak ada, kecuali hanya bayangan arah timur-barat,” katanya.
Apakah berarti catatan I-Tsing itu absurd? “Catatannya benar soal gnomon,” jawabnya. “Yang menjadi persoalan adalah kapan itu ditulis.” Tanpa tahun dan tanggal yang jitu, sulit untuk menentukan secara pasti lokasi I-Tsing. Hal lainnya, pencarian lokasi berdasar gnomon harus mengetahui dengan tepat dan benar: tinggi benda, panjang bayangan, serta posisi matahari saat itu.
Hingga kini Eadhiey pun masih kesulitan untuk mengonversikan kalender Cina ke Masehi secara eksak. Dia berharap bahwa ada upaya dari peneliti lain yang melakukan kilas balik perhitungan tanggal dan tahun secara saksama saat I-Tsing kehilangan bayang-bayangnya.
“Gerakan matahari tidak pernah sama persis dan akan kembali ke posisi yang sama—eksak—dalam 481 tahun,” kata Eadhiey. Jika semuanya ditentukan secara eksak, pasti pengamatan gnomon kelak menjawab misteri di sebelah mana I-Tsing bermukim ketika di Sriwijaya. “Itu tidak akan meragukan karena siklusnya sudah pasti.”



Asal Usul Gelar Haji di Indonesia (Menurut Berbagai Versi)

Asal Usul Gelar Haji di Indonesia (Menurut Berbagai Versi) 
Orang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji.
Ada yang beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, pada awalnya tidak ada dan sebutan haji ini baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah saw. Sejarah pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, pada saat kalangan tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikian ini menimbulkan kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah.
Karena kondisi yang tidak kondusif tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa dilaksanakan sama sekali, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak. Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk perlindungan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan perengkapan ini para jemaah haji ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka dielu-elukan dengan sebutan "Ya Hajj, Ya Hajj". Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar "Haji".

>>Asal usul Gelar "Haji" di Indonesia
>>Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Dikisahkan bahwa Pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.
Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.
Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).
Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.
Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.
Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan pada jaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.

>>Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia. Dengan alasan kamuflase "untuk menjaga kesehatan", kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam. Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.

Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar “haji”…. Jadi bertanya-tanya, pantaskah diberi gelar haji setelah mengetahui asal muasal gelar haji ini?

Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia,dinegara" lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin yg telah melaksanakan ibadah haji tersebut, gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yg wkt itu sedang menjajah indonesia, orang yang telah berangkat haji ke me'kah dan kembali lagi ke indonesia oleh bangsa belanda di tandai di depan namanya dengan huruf " H " yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah. 
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang indonesia yg menjadi penentang belanda pada waktu itu yg berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah orang" yang baru pulang dari mekkah tersebut, oleh karena itu belanda menandai orang" tersebut dengan huruf " H " di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pembrontakan,
Tetapi mengapa di zaman sekarang gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yg sudah mampu pergi haji dengan yang belum, bahkan ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah, harusnya orang yg sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan. Terlepas dari itu semua, semoga yang sedang menjalankan ibadah haji diberi kelancaran dan benar-benar menjadi haji yang mabrur. Amin.




Senin, 08 Februari 2016

Kisah Agen CIA Pemburu Che Guevara

Kisah Agen CIA Pemburu Che Guevara
Havana - Warga Kuba dan Bolivia, pada 9 Oktober 2013, mengenang gerilyawan legendaris asal Cuba-Argentina, Ernesto "Che" Guevara, yang tewas dieksekusi tentara Bolivia, pada hari itu, tahun 1967 lalu. Bolivia dibantu dinas rahasia Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA), saat memburu legenda perang gerilya dari Amerika Latin itu.
Felix Rodriguez, agen CIA yang ditugaskan untuk membantu Bolivia memburu pria yang akrab disapa Che itu, juga mengenang saat-saat ia berpartisipasi dalam perburuan bersejarah tersebut, dalam wawancara kepada Newsmax. Kisahnya dimuat Newsmax edisi 8 Oktober 2013.
Berbeda dengan para pemuja yang menyebut Che sebagai legenda perang gerilya dan salah satu ikon pejuang Marxis, Rodriguez menilai ia seorang kriminal dan tak layak dipuja. "Saya percaya bahwa pada akhirnya orang akan melihat seperti apa dia sebenarnya. Dia adalah seorang pembunuh," kata dia.
Rodriguez, Veteran perang Vietnam dan ikut dalam invasi Amerika Serikat ke Kuba --yang dikenal sebagai invasi Teluk Babi, direkrut untuk melatih dan memimpin tim untuk melacak Guevara, tokoh yang berjasa besar dalam Revolusi Kuba bersama Fidel Castro. 
Saat ia ditugaskan untuk memburunya, Rodriguez berbicara dengan pejabat militer Kuba yang melatih Guevara di Meksiko. Ia pun mendapat informasi bahwa Che memiliki ketertarikan kuat terhadap kekerasan. Guevara sudah di Bolivia saat Rodriguez diperintahkan untuk melacaknya. Guevara ingin menggulingkan pemerintahan Bolivia, untuk memicu sebuah revolusi seperti yang dilakukannya bersama Castro di Kuba.
Seorang informan memberi tahu Pasukan Khusus Bolivia soal dugaan lokasi perkemahan pasukan gerilya yang dipimpin Che, yaitu disebuah tempat yang dikenal sebagai Yuro Ravine. Pada akhir September 1967, sebuah unit yang dipimpin oleh Letnan Eduardo Galindo berhasil membunuh tiga gerilyawan pasukan Che di daerah itu.
"Jadi kita tahu pada waktu itu bahwa Che pasti di daerah tersebut. Dengan informasi ini saya menemui Kolonel Zenteno Anaya, kepala markas divisi ACE, dan memintanya untuk menggerakkan batalyon untuk melakukan operasi, meski hanya memiliki dua minggu untuk melatihnya," kata Rodriguez.
Pada 7 Oktober 1967, salah satu kompi batalion yang dipimpin Gary Prado menerima laporan intelijen dari seorang petani bahwa ada suara-suara di tempat yang tak ada orang yang seharusnya tinggal di sana. "Malam itu Gary Prado mengepung Quebrada del Yuro dengan kurang dari 200 orang," kata Rodriguez.
Keesokan harinya, pasukan itu terlibat baku tembak dengan pasukan Che. Gerilyawan legendaris itu terluka di kaki kanannya dan ditangkap tentara Bolivia.
"Tentara yang menangkapnya mengatakan kepada saya bahwa ketika (Guevara) bertatap muka dengan tentara itu, ia mengatakan kepada mereka, 'Jangan tembak. Saya Che. Saya lebih berharga dalam keadaan hidup bagi Anda daripada mati'," kata Rodriguez.
Guevara akhirnya dikirim ke Prado, dan ia ditahan di sebuah sekolah tua. Rodriguez merayakan penangkapan ini dengan Kolonel Zenteno di Vallegrande dan bertanya apakah ia bisa menemani sang kolonel untuk melihat Guevara. Keesokan harinya, Zenteno dan Rodriguez naik helikopter ke Higueras, tempat Guevara ditahan.
"Perasaan saya campur aduk... Ketika saya melihat dia untuk pertama kalinya, saya kasihan padanya," kenang Rodriguez. "Dia tampak seperti seorang pengemis. Dia seorang pria yang bahkan tidak memiliki seragam, ia tidak memiliki sepasang sepatu bot, ia hanya memiliki sepasang sepatu kulit yang dipakainya."
Selama interogasi, Zenteno melakukan semua hal untuuk membuat Guevara buka mulut. Tapi, Che tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketika Rodriguez kembali ke sekolah itu, Guevara telah diikat dan berada di lantai dengan tubuh dua orang Kuba yang sudah mati di depannya. "Jadi saya berdiri di depannya dan berkata, 'Che Guevara, saya datang untuk bicara denganmu'," kata Rodriguez.
"Dia menatapku dengan agak sombong dan berkata, 'Tidak ada orang yang bicara padaku, tidak ada yang menginterogasi saya'. Kemudian saya berkata, saya tidak datang ke sini hanya untuk menginterogasi Anda. Saya mengagumi Anda. Anda diperalat kepala negara di Kuba dan Anda seperti ini karena Anda percaya pada cita-cita Anda meskipun saya tahu mereka adalah salah. Saya datang ke sini untuk berbicara dengan Anda. "
"Jadi dia melihat ke arah saya untuk beberapa saat untuk melihat apakah saya akan tertawa. Ketika ia melihat bahwa aku serius, dia berkata, 'Bisakah kau melepaskanku? Dapatkah saya duduk?' Saya meminta kepada seorang prajurit di luar --saya memberikan perintah sampai tiga kali- untuk melepaskan ikatan Komandan Guevara."
"Tentara datang dan akhirnya melepaskan ikatannya. Kami mendudukkannya di bangku kecil dan kami mulai bicara," lanjut Rodriguez. "Setiap kali saya mengajukan pertanyaan taktis untuk kepentingan kami, dia berkata, 'Saya tidak bisa menjawab itu'."
Pada satu titik, Rodriguez mengatakan, ia akhirnya bisa membuat Guevara berbicara setelah menyinggung aksi revolusionernya yang naas di Afrika.
"Anda tidak ingin bicara tentang Afrika tapi kami diberitahu oleh orang-orang Anda sendiri, Anda senang memiliki 10.000 gerilyawan dan mereka prajurit yang sangat miskin," kata Rodriguez kepada Guevara. "Lalu dia mengatakan, 'Yah, kalau saya punya 10.000 gerilyawan itu akan menjadi perbedaan besar. Tapi kamu benar, mereka prajurit yang sangat miskin.' Dan kami bicara tentang perekonomian Kuba, tentang situasi yang berbeda (antara Kuba dan Afrika)."
Ketika Rodriguez menanyakan mengapa Guevara memilih bergerilya di Bolivia, ini alasan yang disampaikan Che. Satu, negara ini jauh dari Amerika Serikat. Kedua, ini negara yang sangat miskin sehingga ia tidak yakin Amerika Serikat akan memiliki banyak kepentingan di Bolivia. Ketiga, dan yang paling penting baginya, ini berbatasan dengan lima negara yang berbeda.
Guevara, kata Rodriguez, mengatakan bahwa jika ia mampu mengambil alih Bolivia, akan menjadi lebih mudah bagi gerakan revolusi menyebar ke Argentina, Brazil, Chili, Peru --negara-negara di sebelah Bolivia.
Sebagai agen CIA, Rodriguez mengaku mendapatkan perintah untuk menjaga agar Che tetap hidup, meski dalam perburuan itu komando ada di tangan Bolivia dan ia hanya bertindak sebagai penasihat. Rodriguez merasa Bolivia tidak tertarik untuk membiarkan Che hidup.
"Setelah dia ditangkap, saya meminta Kolonel Zenteno untuk membiarkannya tetap hidup. Sementara aku berbicara dengannya, meski putus sambung, karena Zenteno berada di daerah operasi. Saat itulah datang panggilan telepon, termasuk panggilan kode naas nomor 500 dan 600."
Apa arti kode itu? "Itu adalah kode yang sangat sederhana yang kami ciptakan: 500 adalah kode untuk Che Guevara, 600 adalah kode untuk membunuhnya, dan 700 adalah kode untuk membuatnya tetap hidup. Dan perintah yang datang dari presiden Bolivia dan panglima tertinggi angkatan bersenjata adalah 500, 600," kata Rodriguez. "Jadi, ketika Zenteno turun dari bukit sebelum ia pergi, saya memanggilnya dan saya katakan, 'kolonel, ada perintah dari komando tertinggi untuk mengenyahkan tahanan."
Zenteno saat itu melihat jam tangannya dan berkata kepada Rodriguez, "Anda punya waktu sampai 02.00 sore untuk menginterogasinya."
Seorang pilot helikopter tiba dengan kamera dan mengatakan bahwa kepala intelijen Bolivia menginginkan foto Guevara sebagai tahanan. 
Seorang wanita Bolivia mendekati sekolah dimana Guevara ditahan dan bertanya apa yang terjadi. "Dia berkata, 'Kami melihat Anda difoto dengan dia di luar sana dan lihat, siaran radio sudah memberi kabar bahwa dia meninggal karena luka pertempuran," kenang Rodriguez. 
"Jadi pada titik itu saya pikir tidak ada perintah yang berbeda. Jadi saya datang ke ruangan itu, berdiri tepat di depannya (Che), dan berkata, 'Komandan, saya minta maaf, saya sudah mencoba yang terbaik'."
"Dia sangat memahami apa yang saya katakan. Wajahnya berubah menjadi putih seperti selembar kertas. Ia mengatakan, 'Lebih baik seperti ini. Saya seharusnya tidak pernah ditangkap hidup-hidup'."
Che menarik pipa dari punggungnya dan berkata, "Saya ingin memberikan pipa ini ke soldadito, seorang tentara yang memperlakukan saya dengan baik." 
Pada saat itu, Sersan Mario Teran, orang yang diperintahkan melakukan eksekusi, masuk ke dalam ruangan.
Rodriguez bertanya kepada Che apakah ia ingin mengirim pesan kepada keluarganya? Sang gerilyawan merespon dengan cara sarkastik, dan mengatakan, "Baiklah. Jika bisa, beritahu Fidel bahwa dia akan segera melihat sebuah revolusi kemenangan di Amerika."
Setelah mengatakan itu, Che lantas mengubah ekspresinya dan mengatakan, "Jika Anda bisa, beritahu istri saya untuk menikah lagi dan mencoba untuk bahagia." 
"Itulah kata-kata terakhirnya. Dia mendekati saya. Kami berjabat tangan, dan berpelukan. Dan dia lantas berdiri ke tempatnya semula, mungkin berpikir aku menjadi salah satu orang yang akan menembaknya," kata Rodriguez.
Rodriguez mengaku meninggalkan ruangan itu. Sekitar 20 menit kemudian, ia mendengar bunyi ledakan pendek. "Sersan Teran meminjam karabin M-2... Saya tahu dia masuk ke ruangan (Che) dan menembaknya."
Che akhirnya mati. Seorang pendeta tiba untuk memberinya berkah Katolik. Rodriguez mengambil beberapa foto Che dan merenungkan apa yang baru saja terjadi. "Saya berpikir dalam hati, pria ini adalah seorang ateis, yang tidak percaya pada Tuhan, namun mendapat ritual terakhir dari Gereja Katolik," kenang Rodriguez.
Ia akhirnya pergi bersama pejabat militer Bolivia, naik helikopter, dan mendarat di Vallegrande, bersama mayat Che Guevara. Di sana sudah ada 2.000 orang yang menunggu bersama kontingen militer.
"Ada 15 pesawat yang berbeda. Empat pesawat militer dari orang-orang militer yang berbeda. Jadi saya hanya menunduk saat helikopter mendarat dan berlari ke kerumunan agar saya tak terfoto," kata Rodriguez. Ia merunduk karena tak ingin tertangkap kamera saat sedang menjalankan operasi.
Rodriguez juga mengingat pertemuan mengerikan sehari setelah Che meninggal.
"Kami melakukan pertemuan dengan Jenderal Ovando Candia, komandan Angkatan Bersenjata Bolivia. Pada pertemuan itu dia melihat ke salah satu kolonel dan berkata, 'Lihat, jika Fidel menyangkal ini adalah Che Guevara, kita perlu bukti nyata itu. Potong kepalanya dan memasukkannya ke dalam formaldehida'."
"Saya katakan, 'Jenderal, Anda tidak bisa melakukan itu. Dia mengatakan, 'Mengapa tidak? Sudah bisa diduga Fidel Castro akan menyangkal ini adalah Che Guevara'." 
"Anda tidak bisa menunjukkan kepala manusia," kata Rodriguez. "Jika Anda ingin bukti nyata, kita memiliki sidik jarinya dan polisi federal Argentina dapat memeriksanya. Potong satu jari... Ia (Candia) memerintahkan kolonelnya untuk memotong dua tangan."
Setelah itu, Rodriguez pergi. Militer menggali lubang di ujung landasan untuk penguburan Guevara, bersama dua mayat lainnya.
Rodriguez mengaku tak yakin apakah Che mati dengan cara yang benar. Tapi, kata dia, kematiannya dengan cara ditembak itu malah membuatnya menjadi martir bagi banyak orang. Bahkan sampai hari ini, citranya telah diabadikan sebagai budaya tandingan, legenda budaya populer, yang oleh mahasiswa dibabadikan melalui T-shirt dan item lainnya.


Tapi ia menambahkan, bukan perannya untuk mengatakan bagaimana seharusnya menangani Che. "Saya merasa bahwa saya berada di sana untuk memberi nasihat, bukan memberi perintah. Itu adalah keputusan dari pemerintah Bolivia," kata Michelle Belen Rodriguez..

Di rangkum Dari berbagai sumber.


Senin, 01 Februari 2016

Operasi Menumpas PRRI:

Operasi Menumpas PRRI: 

Dihadang Mitraliur di Atas Gunung Padang
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pada tahun-tahun selanjutnya masih menemui banyak tantangan yang harus diselesaikan melalui pertikaian bersenjata. Korban jiwa dan materi yang tak bisa dicegah pun berjatuhan. 
Setelah lebih dari sepuluh tahun RI merdeka, sejumlah daerah merasa tidak puas bahkan dengan terang-terangan berupaya memisahkan diri, sehingga pemerintah pusat di Jakarta terpaksa harus menyelesaikannya secara militer. Salah satu upaya pemisahan diri dengan cara membentuk negara baru dan menyatakan berpisah dari pangkuan RI adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pimpinan Mr Sjafrudin Prawiranegara yang dibentuk pada 15 Februari 1958 di Sumatera.
Upaya pemisahan diri dari PRRI itu jelas menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus segera diambil tindakan tegas. Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) harus benar-benar terencana secara matang. Pasalnya PRRI juga didukung oleh sejumlah unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI, sehingga memiliki kekuatan yang teraltih dan bersenjata lengkap. Satuan-satuan militer yang mendukung APRI antara lain Resimen IV/TT-1/ Bukit Barisan di bawah komandan Letkol Achmad Husein, Tentara Territorium I di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon, Tentara Teritorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-1, Kolonel Simbolon di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat. Dari sisi kemampuan tempurnya yang terlatih, jumlah total pasukan PRRI sekitar 10.000 0rang.
Selain memiliki pasukan yang terlatih pasukan PRRI juga memunyai senjata-senjata modern yang kemudian diketahui sebagai bantuan dari AS (CIA). Persenjataan yang terdeteksi oleh intelijen APRI pada 28 Februari 1958 dan dikirim melalui penerbangan gelap ke Sumatera itu antara lain 15 senjata mesin ringan, 125 pucuk senapan laras panjang, dan dua senapan mesin berat lengkap dengan pelurunya. Dengan memperhitungkan bahwa kekuatan militer yang dimiliki PRRI sebelumnya merupakan pasukan reguler dan memiliki persenjataan yang digelar dalam kawasan luas, APRI di bawah komando KSAD Kolonel AH Nasution pun segera menggelar operasi gabungan. Sebagai komandan operasi gabungan ditunjuk perwira TNI AD yang sudah cukup pengalaman, Kolonel Achmad Yani. Sejumlah operasi yang digelar untuk membereskan PRRI antara lain Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi 17 Agustus.
Peran AURI
Sebagai operasi gabungan yang melibatkan seluruh kekuatan APRI, peran kekuatan AURI (TNI AU) sangat dominan karena bertugas menerjunkan pasukan, menerjunkan logistik, memberikan air cover, bantuan tembakan udara kepada pasukan darat, misi SAR, dan lainnya. Kekuatan udara AURI yang dikerahkan antara lain 26 pesawat C-47 Dakota, enam pesawat pemburu P-51 Mustang, delapan pembom B-25 Mitchell, enam AT-16 Harvard yang dipersenjatai, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Sedangkan kekuatan ALRI yang dikerahkan terdiri dari enam kapal perang, 19 kapal transpor dan ribuan prajurit AL. Angkatan Darat RI juga mengerahkan ratusan prajurit RPKAD yang dalam misi tempurnya akan diterjunkan melalui udara dan didaratkan menggunakan kapal ALRI. Jumlah pasukan APRI yang dikerahkan untuk menumpas PRRI sekitar 50.000 orang.
Menurut Marsma (Purn) Augustinus Andoko (84) saksi hidup Operasi Tegas yang turut menerbangkan Dakota, untuk melancarkan operasi militer merebut Riau Daratan itu taktik tempurnya dititikberatkan pada unsur pendadakan. Target lain Operasi Tegas adalah membebaskan Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru yang selanjutnya akan digunakan sebagai basis terdepan guna menghadapi PRRI. Sebanyak 26 Dakota dari Skadron Udara 2 yang telah disiapkan di pangkalan aju Tanjung Pinang, tidak semuanya diterbangkan oleh pilot-pilot AURI karena masih terbatasnya penerbang Dakota.
“Pilot-pilot dari Garuda Indonesian Airways atau biasa disebut Wing Garuda juga ikut dilibatkan. Saya sendiri saat itu sebenarnya bukan pilot Dakota dari Skadron 2, tapi menjabat Chief Instructor di Sekolah Penerbang Bandung,’’ jelas Andoko yang saat itu berpangkat Kapten Pnb. ‘’Tapi karena memiliki kemampuan menerbangkan Dakota dan karena kurang tenaga pilot, semua yang bisa menerbangkan Dakota pun dilibatkan. Saat itu semua instruktur dilibatkan dalam operasi sehingga para siswa penerbang pekerjaannya hanya duduk-duduk saja karena tidak ada instrukturnya,’’ tambah Andoko yang juga dikenal sebagai salah satu sesepuh TNI AU dan salah satu pendiri Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU).
Andoko yang pada massa Perang Kemerdekaan RI (1945-1947) tergabung dalam Tentara Pelajar Batalyon 300 itu mendapatkan kemampuan menerbangkan sejumlah pesawat, salah satunya Dakota, sewaktu mengikuti Pilot Course di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), Bakersfield, California, AS (1950). Sebelum dikirim ke TALOA, Andoko yang lulus pendidikan SMTT (Sekolah Menengah Teknik Tinggi) Yogyakarta telah diterima sebagai kadet AURI (1949) dan sudah memiliki kemampuan terbang solo menggunakan pesawat L-4J.

>>> DARI BERBAGAI SUMBER <<<<


Machinen Pistole 40 (MP40)

Machinen Pistole 40 (MP40)


MP40 Atau bahasa Jermanya "Machinen Pistole 40" adalah salah satu senjata Jerman yang populer semasa Perang Dunia ke II . Termasuk senjata Schmeisser (Senapan mesin ringan) , MP40 juga mempunyai Popor lipat yang dapat digunakan. MP40 Dicipitakan oleh Heinrich Vollmer , Beratnya mencapai 4 Kg . Mulai diproduksi pada tahun 1939 . Jumlah produksi pada perang Dunia Ke II diatas 1 Juta Pucuk senjata MP40. Panjang 833 mm + 630 mm (Popor Lipat) . Dalam 1 magazine MP40 terdapat 32 Butir peluru 9 X 19 mm Parabellum .


Dalam sejarahnya , MP40 sering digunakan oleh pasukan terjun Payung Jerman atau juga disebut "Fallschirmjäger". Karena kelebihan senjata ini adalah sangat efisien , Keakuratanya yang sangat baik , dan sangat mudah dioprasikan .


Sehingga tidak salah , pada akhir Perang Dunia ke II Banyak senjata MP40 yang tidak bertuan ditukar dengan senjata Thompson m4a1 dan M3 Grease gun dengan MP40 sisanya menyebar di seluruh Eropa akibat dari Pasar Gelap.


Pada awal Perang Dunia II , senjata ini sangat jarang ditemukan , karena mahalnya harga Produksi MP40 pada saat itu khusunya di kalangan perwira-perwira Waffen-SS , Wehrmacht , dan SA (Sturmabteilung) . Hanya kru elite , Gestapo , Perwira tinggi , Panzer Ace , Polisi Militer Nazi yang biasanya memakai MP40.


Seiring perkembangan waktu , hampir semua Pasukan Waffen-SS pada saat perang di Stalingrad dekat sungai Volga di Russia melawan Pasukan merah Russia "Red Army" telah memakai MP40 . Tetapi pada saat akhir-akhir Perang Dunia II banyak MP40 dari Perwira Nazi diganti dengan Stg 44 yang jauh lebih bagus , khususnya pada saat Jerman melakukan perlawanan sekaligus Pertahanan utamanya di Berlin pada saat melawan Rusia .

>>> SUMBER DARI BERBAGAI SUMBER<<<<


PAKAIAN PERANG ALA JAWA ABAD 18

PAKAIAN PERANG ALA JAWA ABAD 18


Gambar di bawah merupakan gambaran pakaian perang Jawa. Demikian seperti yang dituliskan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java. Pakaian perang merupakan pakaian khusus yang digunakan ketika akan maju ke medan perang. Pakaian perang ala Jawa ini terdiri atas celana yang berkancing. Panjangnya dari pinggang hingga mata kaki. Selain celana panjang umumnya celana untuk berperang yang disebut kathok juga dilengkapi dengan celana pendek. Hanya saja celana pendek tersebut diletakkan (dipakai) di luar celana panjang. Jadi kira-kira seperti pakaian Super Man dengan celana dalam diletakkan di luar celana panjangnya.


Celana-celana tersebut umumnya terbuat dari bahan kain yang halus atau bahkan sutera. Selain itu pakaian perang Jawa juga dilengkapi dengan amben, yakni semacam sabuk yang dililitkan mengelilingi tubuh sebanyak 7-8 kali. Amben ini berfungsi untuk melindungi bagian tubuh dari pinggang hingga dada dan punggung. Jadi fungsinya mirip seperti baju zirah. Umumnya amben juga terbuat dari kain yang bagus atau sutera.


Pakaian perang ala Jawa juga dilengkapi dengan rompi ketat tanpa kancing yang sering disebut sangsang. Di atas sangsang terdapat rompi dengan kancing yang dimulai dari leher sampai perut. Rompi semacam ini sering juga disebut kutang berkancing. Di atas semua jenis baju itu dikenakan baju lengan panjang yang disebut sikepan. Baju lengan panjang ini jika dilihat model atau potongannya agak mirip dengan jaket panjang. Baju ini menutupi seluruh tubuh bagian atas. Umumnya pakaian perang juga dilengkapi dengan tutup kepala. Kadang penutup kepala ini rangkap. Penutup kepala pertama umumnya berupa kain yang diikat dan disimpulkan. Kemudian penutup kepala paling luar umumnya berupa tutup kepala semacam topi atau kuluk.


Untuk menempatkan pedang, maka tali pedang yang disebut angger dililitkan di pinggang. Pedang umumnya ditaruh di pinggang bagian kiri. Tiga bilah keris diletakkan di kanan kiri pinggang dan satu bilah lagi diletakkan di belakang. Keris yang dikenakan ini umumnya terdiri atas satu keris pribadi, satu keris warisan leluhur, dan satu keris yang diberikan oleh ayah mertuanya ketika orang tersebut menikah. Keris dari mertua ini umumnya diletakkan di pinggang bagian kiri.

Selain senjata berupa keris, pedang, dan wedung, umumnya prajurit Jawa juga membawa tombak bertangkai panjang untuk berperang. Di samping tentu saja, perisai dan panah.


Untuk menunjukkan superioritasnya pakaian perang ini sering masih dilengkapi dengan perhiasan berupa cincin atau kalung emas yang dimiliki orang tersebut. Melihat hal yang demikian kelihatan juga bahwa untuk berperang pun orang merasa ”perlu” untuk bersombong diri atau pamer.

Tampaknya hal ihwal yang ada dan terjadi di Jawa kala itu sangat menarik perhatian Raffles sehingga ia tertarik untuk mendokumentasikannya melalui tulisan dan gambar/lukisan. Pada saat dituliskan kemungkinan hal-hal demikian terasa biasa saja. Akan tetapi setelah masa itu lewat 200 tahun lamanya, maka hal-hal yang dicatatnya menjadi terasa luar biasa karena kita tidak akan pernah mendapati lagi secara nyata apa yang dituliskan Raffles tersebut. Daripadanya kita memperoleh catatan historis yang sangat berharga. Jawa yang eksotis di kala itu kini menjadi demikian modern lengkap dengan segala kemajuan dan kerusakannya.

sumber : tembi.org



SEJARAH PENAKLUKAN KONSTATINOPEL, KOTA PEMBUKA SIMBOL KEJAYAAN ISLAM...

>> SEJARAH PENAKLUKAN KONSTATINOPEL, KOTA PEMBUKA SIMBOL KEJAYAAN ISLAM... Kalau ada sosok yang ditunggu-tunggu kedatangannya sepanjang sejarah Islam, dimana setiap orang ingin menjadi sosok itu, maka dia adalah sang penakluk Konstantinopel. Bahkan para shahabat Nabi sendiri pun berebutan ingin menjadi orang yang diceritakan Nabi SAW dalam sabdanya.

 Betapa tidak, beliau Nabi SAW memang betul-betul memuji sosok itu. Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah? Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah/Roma? Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel. (HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim) Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya. Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih. (Lihat al-Silsilah al-Shahihah 1/3, MS) Ada dua kota yang disebut dalam nubuwwat nabi di hadits tersebut; 1.) Konstantinopel Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H / 1453 M, kota dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani. 2. Rumiyah Dalam kitab Mu’jam al-Buldan dijelaskan bahwa Rumiyah yang dimaksud adalah ibukota Italia hari ini, yaitu Roma. Para ulama termasuk Syekh al-Albani pun menukil pendapat ini dalam kitabnya al-Silsilah al-Ahadits al-Shahihah. Kontantinopel telah dibuka 8 abad setelah Rasulullah menjanjikan nubuwwat tersebut. Tetapi Roma, hingga hari ini belum kunjung terlihat bisa dibuka oleh muslimin. Ini menguatkan pernyataan Nabi dalam hadits di atas. Bahwa muslimin akan membuka Konstantinopel lebih dulu, baru Roma. Itu artinya, sudah 15 abad sejak Rasul menyampaikan nubuwwatnya tentang penaklukan Roma, hingga kini belum juga Roma jatuh ke tangan muslimin. Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium atau Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu. Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada nubbuwat Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas. Sayangnya, prestasi yang satu itu, yaitu menaklukkan kota kebanggaan bangsa Romawi, Konstantinopel, tidak pernah ada yang mampu melakukannya. Tidak dari kalangan sahabat, tidak juga dari kalangan tabi`in, tidak juga dari kalangan khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Di masa sahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah satu anggota pasukannya dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun lamanya. Konstantinopel memang sebuah kota yang sangat kuat, dan hanya sosok yang kuat pula yang dapat menaklukkannya. Sepanjang sejarah kota itu menjadi kota pusat peradaban barat, dimana Kaisar Heraklius bertahta. Kaisar Heraklius adalah penguasa Romawi yang hidup di zaman Nabi SAW, bahkan pernah menerima langsung surat ajakan masuk Islam dari beliau SAW. Ajakan Nabi SAW kepada sang kaisar memang tidak lantas disambut dengan masuk Islam. Kaisar dengan santun memang menolak masuk Islam, namun juga tidak bermusuhan, atau setidaknya tidak mengajak kepada peperangan. Biografi Singkat Sultan Mehmed II atau juga dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih (bahasa Turki Ottoman: م*مد ثانى Mehmed-i sānī, bahasa Turki: II. Mehmet, juga dikenal sebagai el-Fatih (الفات*), "sang Penakluk", dalam bahasa Turki Usmani, atau, Fatih Sultan Mehmet dalam bahasa Turki. Sultan Muhammad II dilahirkan pada 29 Maret 1432 Masehi di Adrianapolis (perbatasan Turki – Bulgaria). menaiki takhta ketika berusia 19 tahun dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481). Beliau merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 7 bahasa yaitu Bahasa Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia dan Israil. Beliau tidak pernah meninggalkan Shalat fardhu, Shalat Sunat Rawatib dan Shalat Tahajjud sejak baligh. Beliau wafat pada 3 Mei 1481 kerana sakit gout sewaktu dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia. Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu'' setelah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di ''Ain Al-Jalut" melawan tentara Mongol). Usaha Sultan dalam Menaklukan Konstantinopel Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu yang termasyhur dunia. ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara. ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni Constantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam pada perang Khandaq.

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’Anhu. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah. Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.

Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildirim Bayazid saat dia mengepung kota itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.

Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II), sultan ke-7 Daulah Utsmaniyyah.

Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Konstantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota tadi. Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ''ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.

Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Al-Qur'an dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Aaq Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki.

Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur'an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Aaq Syamsudin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam di dalam hadits pembukaan Kostantinopel.

Hari Jumat, 6 April 1453 M, Muhammad II bersama gurunya Syeikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Konstantinopel dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 250.000 ribu pasukan dan meriam -teknologi baru pada saat itu- Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.

Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai dan membayar upeti atau pilihan terakhir yaitu perang. Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa.

setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala. Dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur'an mengenainya serta hadis Nabi Shallallahu'Alaihi Wasallam tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.

Kota dengan benteng 10m tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7m. Dari sebelah barat pasukan artileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.

Berhari-hari hingga berminggu-mingGu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah maka pasukan Constantine langsung mempertahankan celah tsb dan cepat menutupnya kembali. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal.

Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam waktu semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui Teluk Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu dengan memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah Teluk Golden Horn (ini adalah ide ”tergila” pada masa itu namun Taktik ini diakui sebagai antara taktik peperangan (warfare strategy) yang terbaik di dunia oleh para sejarawan Barat sendiri).

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah Subhana Wa Ta''ala. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan dzikir. Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, setelah sehari istirahat perang, pasukan Turki Utsmani dibawah komando Sultan Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian army di lapis kedua dan terakhir pasukan elit Yanisari.

Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.

Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.

Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia/ Aya Sofia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Yahudi maupun Kristen karena mereka (penduduk) termasuk non muslim dzimmy (kafir yang harus dilindungi karena membayar jizyah/pajak), muahad (yang terikat perjanjian), dan musta’man (yang dilindungi seperti pedagang antar negara) bukan non muslim harbi (kafir yang harus diperangi). Konstantinopel diubah namanya menjadi Islambul (Islam Keseluruhannya). Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.

Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut. Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah gratis, siapapun boleh belajar, tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan, membangun rumah sakit, bahkan rumah diberikan gratis bagi pendatang di kota itu dan mencari nafkah di sana. Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Istanbul, dan pencarian makam Abu Ayyub dilakukan hingga ditemukan dan dilestarikan. Dan kini Hagia Sophia sudah berubah menjadi museum.


>Sumber : Indonesiaindonesia.com Dan Sejarah Dunia



Pengikut