Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua
Bermula dari informasi tim penelitian geologi di zaman Belanda, Freeport melacak jejak harta karun di perut bumi Papua. Ditolak Sukarno, diterima Soeharto.
PADA 1959 Jean Jacques Dozy, seorang geolog anggota Ekspedisi Colijn yang pernah melakukan pendakian ke Puncak Cartenz pada 1936, kedatangan seorang tamu. Si tamu tadi bertanya kepadanya tentang keadaan Papua yang pernah dikunjunginya. “Katanya Anda pernah mengunjungi New Guinea (nama Papua saat itu-Red.) dan menemukan badan bijih (ore body) ini. Seberapa besarnya?” tanyanya pada Dozy, sebagaimana dikutip dari buku Grasberg karya George A. Mealey.
Pertanyaan tamunya membuat Dozy terhenyak. “Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata dia. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy. “Baiklah,” kata Dozi melanjutkan, “ini menyerupai sebuah dinding tebing, tingginya kira-kira 75 meter dan begitu juga panjangnya.”
“Oh..oh,” ujar tamunya. Menurut Dozy, setelah pertemuan itu, tamu tadi langsung terbang menuju Papua, untuk membuktikan apakah omongan Dozy bohong atau jujur. Dan ketika kembali, dia menemui lagi Dozy dan mengatakan, “(Ternyata) itu lebih besar dari yang pernah Anda bilang.”
Tamu yang dimaksud Dozy adalah Forbes. K Wilson, yang bekerja sebagai manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian Forbes jadi petinggi di Freeport. Sebelum bertemu Dozy, Forbes sudah terlebih dahulu mencari informasi tentang Ekspedisi Colijn. Dalam catatan hariannya, Dozy membuat sketsa gundukan batu hitam aneh yang berdiri menyembul pada ketinggian 3500 meter, di pedalaman Papua. Di bawah skesta itu, Dozy membubuhkan tulisan “Ertsberg” yang artinya “gunung bijih”. Dari sana Forbes mengendus kekayaan bumi Papua.
Sebelum informasi itu ditemukan oleh Forbes, laporan Dozy hanya disimpan di perpustakaan Leiden. Setelah membuktikan temuan Dozy, pihak Freeport tak bisa begitu saja melakukan kegiatan eksploitasi di Irian Jaya (nama Papua saat itu). Terlebih karena kebijakan pemerintahan Sukarno menutup kemungkinan masuknya modal asing ke Indonesia.
Peluang baru muncul saat terjadi peristiwa G30S 1965 yang bermuara pada kejatuhan Sukarno. Dua bulan setelah kup militer itu CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai. Pemerintah Soeharto, kendati belum resmi, mereka anggap jauh lebih bersahabat dengan Amerika ketimbang Sukarno.
Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentangnya.
Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno tak mau begitu saja kekayaan alam Indonesia dikelola oleh kelompok bisnis asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap untuk mengesploitasi kekayaan alam di Papua.
Pada April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa.
Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan.
“Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisah dengan editor Thee Kian Wie.
Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto. “Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanad, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.”
Undang-Undang PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional. Dan Freeport, salah satu koorporasi internasional pertama yang ketiban rezeki dari peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto.
Sumber : https://www.google.co.id/webhp?hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiwydLUmPHPAhUgSY8KHVUiBmQQPAgD
Sumber : http://historia.id/modern/melacak-jejak-silam-freeport-mengeksploitasi-bumi-papua
Tampilkan postingan dengan label PEMERINTAHAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PEMERINTAHAN. Tampilkan semua postingan
Minggu, 23 Oktober 2016
Kamis, 12 Mei 2016
Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat.
Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat
Para pilot Wing Garuda yang terlibat dalam misi tempur untuk membebaskan Irian Barat dalam Operasi Trikora memiliki risiko sama seperti para pilot pesawat militer lainnya. Dalam kondisi genting mereka bahkan harus siap baku tembak saat berada di darat.
Ketika pemerintah RI mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda (1962), para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan. Komando Tertinggi (KOTI) Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan AURI. Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG 011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando Kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel, serta SAR.
Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG 011 menggunakan pesawat-pesawat transpor seperti DC-3 Dakota, C-47 Skytrain, dan ConvairB-36. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011 akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan B-26 Invader. Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG 011 juga kerap menghadapi cuaca buruk serta radar musuh sehingga harus terbang pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat atau perairan yang ganas siang maupun malam hari. Setelah Irian Barat diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.
Salah satu misi yang berpotensi menimbulkan konflik bersenjata adalah ketika personel WG dan WG 001 ditugaskan Panglima Tertinggi (Presiden) untuk mengambil alih perusahaan penerbangan Belanda, De Kroonduif NV yang berada di Irian Barat. Tim dari WG kemudian membentuk satu kontingen yang kurang lebih terdiri dari 40 orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan penerbangan, penerbang, dan teknisi. Sebagai pimpinan kontingen ditunjuk pilot senior Captain M Syafei, yang diberi wewenang penuh untuk mengelola perusahaan penerbangan yang diambil alih beserta fasilitas pendukungnya seperti hanggar, gudang suku cadang, fasilitas pemeliharaan, hotel, dan lainnya. Captain Syafei sendiri saat ini masih hidup sehat dan berumur 83 tahun serta masih aktif mengikuti dunia penerbangan Tanah Air dan sebagai pengajar di Jurusan Teknik Penerbangan, Universitas Trisakti, Jakarta.
Kontingen yang juga dibekali kemampuan bertempur itu dilantik oleh Presiden Sukarno pada 13 Desember 1962 melalui upacara sederhana dan singkat. Perasaan bahwa misi ke Irian Barat itu merupakan misi tempur sekali jalan (one way ticket) sangat terasa ketika Bung Karno memberi perintah yang intinya berbunyi, ‘’Kibarkanlah bendera-bendera ini (Merah Putih, bendera pasukan PBB, dan bendera Garuda) pada saat ayam berkokok tanggal 1 Januari 1963’’. Para pilot kontingen yang berjumlah 14 orang tidak hanya berdebar-berdebar karena adanya perintah bertempur itu, tapi juga was-was karena harus terbang di atas wilayah Irian Barat yang belum dikenal dan di bawahnya terhampar hutan belantara yang belum banyak disentuh manusia.
Untuk menghadapi kemungkinan terburuk setiap personel kontingen dibekali pistol. Agar tidak mencolok pistol ditaruh dalam koper dan ditempatkan secara tersembunyi. Untuk penggunaan persenjataan dan kemampuan tempur para personel Wing Garuda telah mendapat latihan militer dari TNI AU dan diselengarakan selama dua minggu di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Kontingen WG diberangkatkan ke Biak dari Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta pada 18 Desember 1962 pukul 03.00 dini hari menggunakan pesawat Lockheed L-188 Electra. Penerbangan berjalan lancar dan kontingen pun tiba di Lapangan Terbang Mokmer, Biak dengan selamat. Kontingen kemudian menuju ke gedung perkantoran De Kroonduif NV dan di luar dugaan disambut hangat oleh staf pimpinan perusahaan, Albert Janssen. Sebagai pimpinan rombongan Captain Syafei sangat salut terhadap para staf dan pekerja Belanda yang sangat kooperatif dan mematuhi keputusan undang-undang (tentang penyerahan Irian Barat yang disahkan oleh PBB) yang sedang berlaku. ‘’Mereka sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. Secara politik Indonesia-Belanda memang bermusuhan tapi dalam hal profesi mereka benar-benar bertanggung-jawab dan kooperatif,’’ papar Syafei.
Tugas non penerbangan
Suasana di hari pertama yang menyejukkan itu tiba-tiba berubah drastis karena salah satu anggota kontingen, Gunadi, yang sedang mengendarai mobil secara tak sengaja telah menabark seorang penduduk Irian Barat sehingga mengalami luka cukup serius. Rupanya jalan di Irian Barat yang belum dikenal dan sikap penduduk Irian Barat yang masih sembrono menjadi penyebab kecelakaan fatal itu.
Insiden kecelakaan itu jelas menjadi potensi dari penduduk lokal untuk melancarkan aksi kekerasan. Tapi Janssen yang notabene berada di pihak ‘’musuh’’ ternyata bersikap kooperatif. Dengan pendekatan secara kekeluargaan insiden kecelakaan itu dapat diselesaikan tanpa menimbulkan konflik kekerasan. Pihak De Kroonduif rupanya sangat patuh hukum dan bersedia menyerahkan sejumlah pesawat dan fasiltasnya. Pesawat dan fasilitas yang diserahkan ke kontingen antara lain dua Dakota, tiga Twin Pioneer, tiga Beaver berikut terminal laut yang berada di tepi pantai Mokmer, fasilitas pemeliharaan, gudang suku cadang, dan lainnya. Berdasar pengalaman kontingen, manajemen dan organisasi segera disusun dengan nama perusahaan Garuda Irian Barat. Para personel Kontingen harus bekerja super cepat, hanya ada waktu satu minggu karena para personel Belanda dari Kroonduif akan segera pulang ke negaranya untuk merayakan Tahun Baru dan Natal.
Tugas yang paling membingungkan bagi Kontingen adalah ketika mengurus Hotel Rift karena sama sekali tidak memiliki pengalaman. Dengan prinsip pantang mundur Kontingen akhirnya bekerja dengan cara meniru pekerjaan rutin seperti yang dilakukan oleh karyawan Belanda sebelumnya. Pekerjaan yang sangat mendebarkan adalah ketika harus melakukan pengecatan pesawat Twin Pioneer sampai jauh malam menjelang akhir tahun. Untuk melaksanakan pengecatan pesawat yang dibutuhkan kemampuan khusus dilakukan Captain Syafei dibantu satu orang yang diutus oleh Departemen Perhubungan, Agil.
Cat warna Merah Putih Biru di lambung pesawat yang melambangkan bendera Belanda harus dihapus diganti warna Merah Putih dan regristasi PK. Menjelang malam Tahun Baru pun semua pekerjaan telah selesai. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan pada acara pengibaran bendera yang dialkukan keesokan harinya, semua personel Kontingen menyiagakan diri dengan senapan serbu dan pistolnya. Keadaan menjelang malam memang makin menegang karena di sejumlah kawasan di Kota Biak terjadi tembak-menembak. Tapi aksi tembak-menembak sporadis itu ternyata tidak meluas ke Mokmer. (A Winardi).
Sumber : www.google.com
Sumber : www.wikipedia.com
Sumber : Di rangkum dari berbagai sumber.
Rabu, 11 Mei 2016
Mengenang mencekamnya tragedi Mei 98.
Mengenang mencekamnya tragedi Mei 98
Era 1997 hingga 1998 menjadi mata rantai paling rapuh dari kekuasaan rezim Orde Baru (Orba) Soeharto. Di sendi sejarah tersebut tumbuh subur dampak sosiologis dan ekonomi dari krisis moneter.
Perlahan mahasiwa mulai berani menujukkan kekuatan konsolidasinya. Momentum krisis moneter menjadi salah satu pondasi untuk menghantam rezim otoriter yang tengah berkuasa. Tuntutan awal menyoal penurunan harga-harga barang pokok dan melawan pemangkasan subsidi BBM.
"Krisis itu menjadi puncak dari politik ekonomi yang dibangun oleh Orde Baru yang selama 32 tidak berpihak pada rakyat," kata Mantan Aktivis Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) Masinton Pasaribu saat berbincang dengan Merdeka.com, Kamis (5/5).
Meski dibayang-bayangi penangkapan dan penculikan, serta pembubaran aksi dan organisasi, mahasiswa ternyata berani menangkal resiko. Namun Soeharto tak tinggal diam. Dia mengintruksikan kekuatan militer untuk meredam gejolak yang dimunculkan mahasiswa. Namun di atsmostif akar rumput, mahasiswa justru melawan balik tingkah Soeharto. Mahasiswa makin geram saat Wiranto diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata. Mimbar bebas mengecam pemerintahan otoritarian pun akhirnya muncul di berbagai kampus bak jamur di musim penghujan.
"Sehingga ketika itu lahirlah diskusi-diskusi, para mahasiswa mulai bergerak melakukan protes terhadap rezim Orba. Mulailah digalang mimbar-mimbar bebas di kampus-kampus. Semua mahasiswa menyampaikan kritiknya terhadap situasi saat itu," tuturnya.
Di Jakarta sendiri ada berbagai simpul gerakan mahasiswa. Beberapa di antaranya Presidium BEM Se-Trisakti, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Forum Komunitas Mahasiswa seJabotabek (Forkot), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan sebagainya.
"Mereka menyadari bahwa tidak bisa diselesaikan hanya melalui diskusi. Tapi harus dengan melakukan aksi turun ke jalan. Kami memutuskan turun ke jalan dengan segala konsekuensinya. Walaupun pada saat itu di depan kampus sudah dihadang pasukan ABRI. Turun jalan menyuarakan aspirasi rakyat dengan menolak kenaikan harga sembako, BBM, biaya kuliah mahal, dan sebagainya," ungkapnya.
Dalam rapat internal di berbagai simpul, dilakukan secara tertutup. Biasanya dilakukan di kampus atau di indekos salah satu rekan mahasiswa. Namun beberapa kali mereka juga mengadakan diskusi antar wadah gerakan mahasiswa. Tetap saja apapun model pertemuan untuk menyamakan persepsi tersebut dikuntit oleh intelejen besutan Soeharto.
"Kita menjaga nanti rencana aksi kita keburu bocor. Karena kan intel rezim pada saat itu ada di mana-mana untuk memata-matai pergerakan rakyat dan pergerakan mahasiswa," ujarnya.
Anggota komisi III DPR RI tersebut mengungkapkan bahwa, kala itu tidak semua wadah pergerakan mahasiswa bersifat terbuka. Ada juga yang enggan memanifestokan diri ke permukaan. Akan tetapi antara satu dengan lainnya saling berjejaring, rutin berbagi informasi, dan bebareng membangun tradisi diskusi.
"Ketika semuanya ketakutan itu ada, keberanian akan muncul. Apa yang kita takutkan pada masa itu adalah pengintelan. Itu dipopor senjata waktu aksi, dilarang berdiskusi. Kalau popor senjata itu hal biasa. Kita yakin kesewenang-wenangan Orde Baru itu pasti tumbang, pasti akan berakhir. Kami yakin dengan hukum sejarah itu," ungkapnya.
Aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ini juga berujar bahwa, dalam keadaan terdesak, mahasiswa kerap melawan balik tingkah otoriter militer di medan aksi. Biasanya mahasiswa membalas pukulan mundur militer dengan batu hingga bom molotov. Namun jika benar-benar terpojok, mahasiwa kala itu akan berpencar, lalu bertemu di dalam kampus yang menjadi titik akhir penyelematan diri yang sudah dirumuskan sebelumnya.
"Beredar info seperti (penculikan) itu. Biasanya kita saling mengabarkan di titik mana kita saling bersama, di titik mana kita akan berpisah dengan kawan-kawan ada yang balik ke kost dan sebagainya, biasa saling mengabarkan. Biasanya kita juga kalau ada yang kita curigai, kita bersiasat untuk mengelabui. Kita ke keramaian orang. Biasanya juga bawa pakaian, tinggal dibuka saja," ucapnya.
Dia juga menceritakan bahwa era itu banyak juga elit kampus yang turut geram terhadap kebijakan Soeharto. Namun para birokrat kampus tersebut tak berani terang-terangan melawan pemerintah. Maka mereka lebih memilih bersikap diam-diam mendukung gerakan mahasiswa.
"Tapi ada yang melarang sama sekali. Tapi kita biasa kebebasan akademis itu juga harus ada dan tumbuh," ujarnya.
Menurut Politikus PDIP ini, kala itu tak hanya Tim Mawar yang lalu lalang mengawasi mahasiswa dan gerakan kerayatan. Namun Kodam dan Kepolisian juga memiliki tim yang menguping di tengah masyarakat.
Dia menegaskan bahwa rezim Orde Baru itu paranoid. Dia mengistilahkannya sebagai rezim yang dibangun atas manipulasi sejarah. Pembiasan mengenai fakta-fakta masa lalu itu diterapkan untuk melanggengkan kekuasaan.
"Karena buku-buku yang dianggap kiri kan dilarang oleh rezim Orba dilarang diedarkan dan dipelajari. Kita fotokopi atau stensil, atau minjem. Ya sembunyi-sembunyi," tuturnya.
Masinton mengakui bahwa dia sempat tahu dari 13 aktivis yang diculik dan hilang hingga saat ini. Salah satu yang sering dia lihat dalam forum diskusi maupun demonstrasi ialah Wiji Thukul. Maka dari itu dia berharap agar pemerintah mencari di mana keberadaan fisiknya ataupun tempat mereka dibunuh.
"Yang harusnya bertanggungjawab rezim Orba. Presiden pada masa itu. Rezim Orba itu kan rezim militer. Intelejen inilah yang mengontrol aktivitas masyarakat," pungkasnya.
Sumber : Merdeka.com
Era 1997 hingga 1998 menjadi mata rantai paling rapuh dari kekuasaan rezim Orde Baru (Orba) Soeharto. Di sendi sejarah tersebut tumbuh subur dampak sosiologis dan ekonomi dari krisis moneter.
Perlahan mahasiwa mulai berani menujukkan kekuatan konsolidasinya. Momentum krisis moneter menjadi salah satu pondasi untuk menghantam rezim otoriter yang tengah berkuasa. Tuntutan awal menyoal penurunan harga-harga barang pokok dan melawan pemangkasan subsidi BBM.
"Krisis itu menjadi puncak dari politik ekonomi yang dibangun oleh Orde Baru yang selama 32 tidak berpihak pada rakyat," kata Mantan Aktivis Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) Masinton Pasaribu saat berbincang dengan Merdeka.com, Kamis (5/5).
Meski dibayang-bayangi penangkapan dan penculikan, serta pembubaran aksi dan organisasi, mahasiswa ternyata berani menangkal resiko. Namun Soeharto tak tinggal diam. Dia mengintruksikan kekuatan militer untuk meredam gejolak yang dimunculkan mahasiswa. Namun di atsmostif akar rumput, mahasiswa justru melawan balik tingkah Soeharto. Mahasiswa makin geram saat Wiranto diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata. Mimbar bebas mengecam pemerintahan otoritarian pun akhirnya muncul di berbagai kampus bak jamur di musim penghujan.
"Sehingga ketika itu lahirlah diskusi-diskusi, para mahasiswa mulai bergerak melakukan protes terhadap rezim Orba. Mulailah digalang mimbar-mimbar bebas di kampus-kampus. Semua mahasiswa menyampaikan kritiknya terhadap situasi saat itu," tuturnya.
Di Jakarta sendiri ada berbagai simpul gerakan mahasiswa. Beberapa di antaranya Presidium BEM Se-Trisakti, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Forum Komunitas Mahasiswa seJabotabek (Forkot), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan sebagainya.
"Mereka menyadari bahwa tidak bisa diselesaikan hanya melalui diskusi. Tapi harus dengan melakukan aksi turun ke jalan. Kami memutuskan turun ke jalan dengan segala konsekuensinya. Walaupun pada saat itu di depan kampus sudah dihadang pasukan ABRI. Turun jalan menyuarakan aspirasi rakyat dengan menolak kenaikan harga sembako, BBM, biaya kuliah mahal, dan sebagainya," ungkapnya.
Dalam rapat internal di berbagai simpul, dilakukan secara tertutup. Biasanya dilakukan di kampus atau di indekos salah satu rekan mahasiswa. Namun beberapa kali mereka juga mengadakan diskusi antar wadah gerakan mahasiswa. Tetap saja apapun model pertemuan untuk menyamakan persepsi tersebut dikuntit oleh intelejen besutan Soeharto.
"Kita menjaga nanti rencana aksi kita keburu bocor. Karena kan intel rezim pada saat itu ada di mana-mana untuk memata-matai pergerakan rakyat dan pergerakan mahasiswa," ujarnya.
Anggota komisi III DPR RI tersebut mengungkapkan bahwa, kala itu tidak semua wadah pergerakan mahasiswa bersifat terbuka. Ada juga yang enggan memanifestokan diri ke permukaan. Akan tetapi antara satu dengan lainnya saling berjejaring, rutin berbagi informasi, dan bebareng membangun tradisi diskusi.
"Ketika semuanya ketakutan itu ada, keberanian akan muncul. Apa yang kita takutkan pada masa itu adalah pengintelan. Itu dipopor senjata waktu aksi, dilarang berdiskusi. Kalau popor senjata itu hal biasa. Kita yakin kesewenang-wenangan Orde Baru itu pasti tumbang, pasti akan berakhir. Kami yakin dengan hukum sejarah itu," ungkapnya.
Aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ini juga berujar bahwa, dalam keadaan terdesak, mahasiswa kerap melawan balik tingkah otoriter militer di medan aksi. Biasanya mahasiswa membalas pukulan mundur militer dengan batu hingga bom molotov. Namun jika benar-benar terpojok, mahasiwa kala itu akan berpencar, lalu bertemu di dalam kampus yang menjadi titik akhir penyelematan diri yang sudah dirumuskan sebelumnya.
"Beredar info seperti (penculikan) itu. Biasanya kita saling mengabarkan di titik mana kita saling bersama, di titik mana kita akan berpisah dengan kawan-kawan ada yang balik ke kost dan sebagainya, biasa saling mengabarkan. Biasanya kita juga kalau ada yang kita curigai, kita bersiasat untuk mengelabui. Kita ke keramaian orang. Biasanya juga bawa pakaian, tinggal dibuka saja," ucapnya.
Dia juga menceritakan bahwa era itu banyak juga elit kampus yang turut geram terhadap kebijakan Soeharto. Namun para birokrat kampus tersebut tak berani terang-terangan melawan pemerintah. Maka mereka lebih memilih bersikap diam-diam mendukung gerakan mahasiswa.
"Tapi ada yang melarang sama sekali. Tapi kita biasa kebebasan akademis itu juga harus ada dan tumbuh," ujarnya.
Menurut Politikus PDIP ini, kala itu tak hanya Tim Mawar yang lalu lalang mengawasi mahasiswa dan gerakan kerayatan. Namun Kodam dan Kepolisian juga memiliki tim yang menguping di tengah masyarakat.
Dia menegaskan bahwa rezim Orde Baru itu paranoid. Dia mengistilahkannya sebagai rezim yang dibangun atas manipulasi sejarah. Pembiasan mengenai fakta-fakta masa lalu itu diterapkan untuk melanggengkan kekuasaan.
"Karena buku-buku yang dianggap kiri kan dilarang oleh rezim Orba dilarang diedarkan dan dipelajari. Kita fotokopi atau stensil, atau minjem. Ya sembunyi-sembunyi," tuturnya.
Masinton mengakui bahwa dia sempat tahu dari 13 aktivis yang diculik dan hilang hingga saat ini. Salah satu yang sering dia lihat dalam forum diskusi maupun demonstrasi ialah Wiji Thukul. Maka dari itu dia berharap agar pemerintah mencari di mana keberadaan fisiknya ataupun tempat mereka dibunuh.
"Yang harusnya bertanggungjawab rezim Orba. Presiden pada masa itu. Rezim Orba itu kan rezim militer. Intelejen inilah yang mengontrol aktivitas masyarakat," pungkasnya.
Sumber : Merdeka.com
MOHON DI FOLLOW AKUN SAYA
Instagram : muhamadaliv_fahrudin
Path : Pak Udin
Line : pak-udin
Jumat, 19 Februari 2016
INILAH DAFTAR PERCOBAAN PEMBUNUHAN SOEKARNO
INILAH DAFTAR PERCOBAAN PEMBUNUHAN SOEKARNO
Presiden pertama Indonesia, Soekarno ternyata saat masa jabatannya sebagai Presiden banyak pihak yang ingin menjatuhkannya bahkan tidak tanggung-tanggung, Soekarno telah mengalami percobaan pembunuhan hingga 6 kali. Percobaan pembunuhan tersebut dimulai sejak tahun 1950 sampai 1965. Diantaranya adalah:
1. Penggranatan di Cikini
Terjadi pada tanggal 30 Nopember 1957, di Cikini, dimana pada saat itu Bung Karno menghadiri peringatan ulang tahun Yayasan Perguruan Cikini. Guntur dan Megawati adalah murid SD Yayasan Perguruan Cikini. Bung Karno sempat meninjau berkeliling sekitar 25 menit, dan ketika pulang tiba-tiba terdengar ledakan hebat, yang belakangan adalah ledakan granat yang dilempar dari sekitar sekolah. Para pelakunya Juyuf Ismail, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar berhasil dibekuk dan di hadapkan ke pengadilan militer. Mereka di jatuhi hukuman mati pada 28 April 1958.
Terjadi pada tanggal 30 Nopember 1957, di Cikini, dimana pada saat itu Bung Karno menghadiri peringatan ulang tahun Yayasan Perguruan Cikini. Guntur dan Megawati adalah murid SD Yayasan Perguruan Cikini. Bung Karno sempat meninjau berkeliling sekitar 25 menit, dan ketika pulang tiba-tiba terdengar ledakan hebat, yang belakangan adalah ledakan granat yang dilempar dari sekitar sekolah. Para pelakunya Juyuf Ismail, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar berhasil dibekuk dan di hadapkan ke pengadilan militer. Mereka di jatuhi hukuman mati pada 28 April 1958.
2. Penembakan dengan Pesawat MIG-17 ke Istana Negara
Pada tanggal 9 Maret 1960, Bung Karno sedang berada di Istana Merdeka. Sebuah pesawat terbang MIG 15 terbang rendah dan meluncurkan roket tepat mengenai Istana Merdeka. Namun, Tuhan telah menggerakkan tangan-Nya untuk melindungi Bung Karno. Letnan Penerbang maukar, pilot pesawat itu mendaratkan pesawatnya di persawahan daerah garut karena kehabisan bahan bakar. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati, tetapi sebelum sempat menjalani hukumannya, Bung Karno mengumumkan amnesty umum terhadap PRRI/PERMESTA
Yang pernah memberontak. Maukar yang termasuk unsure PRRI.PERMESTA, langsung dibebaskan.
Pada tanggal 9 Maret 1960, Bung Karno sedang berada di Istana Merdeka. Sebuah pesawat terbang MIG 15 terbang rendah dan meluncurkan roket tepat mengenai Istana Merdeka. Namun, Tuhan telah menggerakkan tangan-Nya untuk melindungi Bung Karno. Letnan Penerbang maukar, pilot pesawat itu mendaratkan pesawatnya di persawahan daerah garut karena kehabisan bahan bakar. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati, tetapi sebelum sempat menjalani hukumannya, Bung Karno mengumumkan amnesty umum terhadap PRRI/PERMESTA
Yang pernah memberontak. Maukar yang termasuk unsure PRRI.PERMESTA, langsung dibebaskan.
3. Usaha penembakan dalam acara Idhul Adha
Pada tanggal 14 Mei 1962, saat orang-orang mukmn termasuk Bung Karno sedang berjajar dalam shaf hendak mealksanakan Sholat Iedul Adha dengan mengambil tempat di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara, tiba-tiba terdengar tembakan pistol bertubi-tubi diarahkan kepada Bung Karno dari jarak 4 shaf dibelakangnya. Ketika diperiksa, penembak mengaku melihat Bungkarno yang dibidiknya, ada dua orang dan menjadi bingunglah ia mau menembak yang mana. Tembakannya meleset tidak mengenai Bung Karno yang menjadi sasaran, sebaliknya menyerempet bahu Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang mengimami shalat. Orang tersebut divonis mati, tetapi ketika disodorkan kepada Bung Karno untuk membubuhkan tandatangan untuk di eksekusi, Bung Karno tidak sampai hati untuk merentangkan jalan menuju kematiannya, karena ia berpikir bahwa pembunuh sesungguhnya adalah orang-orang terpelajar ultra fanatic yang merencanakan perbuatan itu.
Pada tanggal 14 Mei 1962, saat orang-orang mukmn termasuk Bung Karno sedang berjajar dalam shaf hendak mealksanakan Sholat Iedul Adha dengan mengambil tempat di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara, tiba-tiba terdengar tembakan pistol bertubi-tubi diarahkan kepada Bung Karno dari jarak 4 shaf dibelakangnya. Ketika diperiksa, penembak mengaku melihat Bungkarno yang dibidiknya, ada dua orang dan menjadi bingunglah ia mau menembak yang mana. Tembakannya meleset tidak mengenai Bung Karno yang menjadi sasaran, sebaliknya menyerempet bahu Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang mengimami shalat. Orang tersebut divonis mati, tetapi ketika disodorkan kepada Bung Karno untuk membubuhkan tandatangan untuk di eksekusi, Bung Karno tidak sampai hati untuk merentangkan jalan menuju kematiannya, karena ia berpikir bahwa pembunuh sesungguhnya adalah orang-orang terpelajar ultra fanatic yang merencanakan perbuatan itu.
Seorang kiai yang memimpin pesantren di daerah Bogor H. Moh Bachrm, dituduh mengatur rencana tersebut dan memerintahkan melakukannya. Setelah meletus G30S, tempat tahanannya dipindahkan dari RTM ke Penjara Salemba berbaur dengan ribuan tahanan G30S. ditempat itu juga ditahan seorang kapten CPM yang pernah menginterograsinya. Haji Moh. Bachrum menyangkal semua tuduhan. Sikapnya terhadap tahanan G30S, sangat baik dan selama di Salemba, ia ditunjuk mengimami sembahyang berjamaah yang diikuti oleh semua tahanan yang beragama Islam yang diselenggarakan di lapangan penjara. Ia bebas lebih cepat dari pada para tahanan G30S, karena dianggap berkelakuan baik.
4. Serangan mortar dari gerombolan Kahar Muzakar
Di jalanan keluar dari Laangan Terbang mandai menuju Kota. Peluru mortar diarahkan untuk mengenai kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh.
Di jalanan keluar dari Laangan Terbang mandai menuju Kota. Peluru mortar diarahkan untuk mengenai kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh.
5. Pelemparan granat di Makassar
Bung Karno dilempar granat pada malam hari di Jalan Cenderawasih, saat Bung Karno dalam perjalanan menuju Gedung Olahraga mattoangnn untuk mengghadiri suatu acara. Lemparan granat itu meleset dan jatuh mengenai mobil lain yang beriringan dengan mobil Bung Karno dan tidak menimbulkan cedera apa-apa
Bung Karno dilempar granat pada malam hari di Jalan Cenderawasih, saat Bung Karno dalam perjalanan menuju Gedung Olahraga mattoangnn untuk mengghadiri suatu acara. Lemparan granat itu meleset dan jatuh mengenai mobil lain yang beriringan dengan mobil Bung Karno dan tidak menimbulkan cedera apa-apa
6. Melemparkan Granat
Terjadi ketika suatu hari Bung Karno dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta dalam satu iring-iringan.
Bung Karno melihat sendiri seorang laki-laki dengan gerak-gerik aneh seperti maling. Dan tiba-tiba saja melemparkan granat ke arah mobil Bung Karno.
Terjadi ketika suatu hari Bung Karno dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta dalam satu iring-iringan.
Bung Karno melihat sendiri seorang laki-laki dengan gerak-gerik aneh seperti maling. Dan tiba-tiba saja melemparkan granat ke arah mobil Bung Karno.
Minggu, 14 Februari 2016
Jalan Terjal Menuju Kursi Jet Tempur.
Jalan Terjal Menuju Kursi Jet Tempur.
Jurnalis :Priyo Setyawan/KoranSindo.
Almarhum Kapten Pnb Dwi Cahyadi dan Mayor Pnb Ivy Safatillah, 37, adalah dua perwira TNI AU yang gugur saat menjalankan tugas.
Keduanya adalah perwira jebolan Sekolah Penerbang (Sekbang) Lanud Adisutjipto. Dwi Cahyadi merupakan co-pilot T50i Golden Eagle yang jatuh saat aksi akrobatik pada acara Gebyar Dirgantara di Lanud Adisutjipto. Sementara Pnb Ivy Safatillah meninggal saat menguji pesawat latih tempur Super Tucano di langit Malang, Jatim. Mereka sejatinya penerbang-penerbang andal. Sebab, untuk duduk di kursi pilot pesawat tempur bukan perkara mudah. Butuh banyak keterampilan sehingga seseorang layak dipercaya menjaga kedaulatan udara NKRI dengan pesawat tempur berteknologi tinggi.
Sekbang TNI AU di Lanud Adisutjipto Yogyakarta memang tak bisa dipisahkan dari kebutuhan pilot militer di lingkungan TNI. Tempat inilah kawah candra dimuka bagi calon-calon penerbang militer, baik pesawat tempur, angkut atau helikopter. Sekbang TNI AU sudah ada sejak Indonesia lepas dari penjajahan Jepang dan eksis hingga sekarang. Namun untuk menjadi penerbang militer tidak mudah. Mereka yang lolos menjadi siswa harus melewati beberapa tahapan ketat sebelum dinyatakan lulus.
Menurut Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Adisutjipto, Yogyakarta Marsekal Pertama (Marsma) TNI Imran Baidirus, Sekbang TNI AU menerapkan standar tinggi dalam mendidik calon penerbangnya. Selain harus mampu menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, untuk perkembangan setiap tahap juga harus menunjukkan grafis yang meningkat. “Tidak boleh landai atau datar. Jika hal itu tidak terpenuhi maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Untuk pendidikan Sekbang ini kami tidak ada toleransi, bagi yang tidak memenuhi syarat dieliminasi,” ungkap Imran saat ditemui KORAN SINDO YOGYA di ruang kerjanya kemarin.
Ada dua jalan masukan perwira Sekbang TNI AU, yaitu dari jalur lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) dan lulusan SMA. Lalu melalui jalur Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP). Jalur lulusan AAU merupakan seleksi rutin, sedangkan PSDP seleksi dari Mabes TNI. Khusus jalur alumni AAU, bagi yang lolos diberi kesempatan melanjutkan masuk Sekbang dan bagi yang tidak lolos akan melanjutkan karier sesuai penjurusan saat di AAU. Ditanya awal pembelajaran, dia mengatakan untuk pendidikan di Sekbang dimulai dengan ground school. Di sini para siswa akan mendapatkan materi dan teori tentang penerbangan dasar. Setelah menyelesaikan tahap ini, mereka diperkenalkan dengan pendidikan terbang.
Untuk pendidikan terbang ada dua tahap latih dasar dan latih lanjut. Latih dasar sebanyak 86 jam terbang dan latih lanjut 95 jam terbang. “Latih dasar selain menentukan tahap selanjutnya juga untuk mengetahui bakat siswa guna menentukan posisi sebagai penerbang, apakah tempur, angkut atau heli,” papar alumni AAU 1988 ini. Imram menuturkan, siswa yang lolos latih dasar untuk latih lanjutnya sesuai penjurusan. Untuk pesawat tempur dan angkut tetap di Sekbang Lanud Adisutjipto, bagi penerbang heli ditempatkan di Skuadron 7 Kalijati, Subang, Jawa Barat. Khusus penerbang angkut menggunakan pesawat latih Grob.
Sementara pesawat tempur dengan pesawat latih KT 1 Woong Be. Bagi yang lolos akan dilantik menjadi penerbang militer dan penempatannya sesuai kebutuhan skuadron baik tempur, angkut atau heli. Namun, sebelum mereka mengawaki pesawat, terlebih dahulu mengikuti pola pembinaan di skuadron masing-masing. “Tahapan-tahapan itu harus diselesaikan calon penerbang pesawat militer. Sehingga penerbang yang dihasilkan benar-benar qualified ,” ujar alumni Sekbang Angkatan 40 tersebut.
Selain itu, juga dikarenakan penerbang tersebut akan menjadi tulang punggung dalam mengawaki organisasi TNI AU. Sehingga penerbang harus melewati jenjang atau kriteria ketat dan selektif. “Sebab alutsista yang diawaki bukan hanya mahal tapi juga menerapkan teknologi tinggi. Terlebih pesawat tempur menggunakan teknologi mutakhir, tentunya bukan hanya menerbangkan namun bagaimana menjadikannya sebagai senjata,” kata Imran. Di TNI AU, yang maju ke garis depan medan pertempuran ialah perwiranya. Sementara anggotanya ada di belakang untuk menyiapkan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
“Karena itu, kualitas atau kualifikasi penerbang sudah melewati jenjang atau kriteria yang ketat dan selektif,” tandas siswa SIP Angkatan 42 dengan number Jupiter 307 itu. Untuk pendidikan Sekbang hingga sekarang sudah angkatan ke-92. Selain ITU, Sekbang Lanud Adisutjipto juga menyelenggarakan sekolah instruksi penerbang dan navigator. Untuk instruktur penerbang sudah angkatan ke- 75 dan navigator ke-12.
“Sekbang Lanud Adisutjipto merupakan institusi satusatunya yang menyelenggarakan sekolah penerbang, terutama TNI AU. Meski untuk pendidikan terbang ini juga ada titipan dari TNI AD dan AL, yang dinamakan pendidikan Sekbang Terpadu,” kata Imran.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=3&date=2016-02-14
Jurnalis :Priyo Setyawan/KoranSindo.
Almarhum Kapten Pnb Dwi Cahyadi dan Mayor Pnb Ivy Safatillah, 37, adalah dua perwira TNI AU yang gugur saat menjalankan tugas.
Keduanya adalah perwira jebolan Sekolah Penerbang (Sekbang) Lanud Adisutjipto. Dwi Cahyadi merupakan co-pilot T50i Golden Eagle yang jatuh saat aksi akrobatik pada acara Gebyar Dirgantara di Lanud Adisutjipto. Sementara Pnb Ivy Safatillah meninggal saat menguji pesawat latih tempur Super Tucano di langit Malang, Jatim. Mereka sejatinya penerbang-penerbang andal. Sebab, untuk duduk di kursi pilot pesawat tempur bukan perkara mudah. Butuh banyak keterampilan sehingga seseorang layak dipercaya menjaga kedaulatan udara NKRI dengan pesawat tempur berteknologi tinggi.
Sekbang TNI AU di Lanud Adisutjipto Yogyakarta memang tak bisa dipisahkan dari kebutuhan pilot militer di lingkungan TNI. Tempat inilah kawah candra dimuka bagi calon-calon penerbang militer, baik pesawat tempur, angkut atau helikopter. Sekbang TNI AU sudah ada sejak Indonesia lepas dari penjajahan Jepang dan eksis hingga sekarang. Namun untuk menjadi penerbang militer tidak mudah. Mereka yang lolos menjadi siswa harus melewati beberapa tahapan ketat sebelum dinyatakan lulus.
Menurut Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Adisutjipto, Yogyakarta Marsekal Pertama (Marsma) TNI Imran Baidirus, Sekbang TNI AU menerapkan standar tinggi dalam mendidik calon penerbangnya. Selain harus mampu menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, untuk perkembangan setiap tahap juga harus menunjukkan grafis yang meningkat. “Tidak boleh landai atau datar. Jika hal itu tidak terpenuhi maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Untuk pendidikan Sekbang ini kami tidak ada toleransi, bagi yang tidak memenuhi syarat dieliminasi,” ungkap Imran saat ditemui KORAN SINDO YOGYA di ruang kerjanya kemarin.
Ada dua jalan masukan perwira Sekbang TNI AU, yaitu dari jalur lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) dan lulusan SMA. Lalu melalui jalur Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP). Jalur lulusan AAU merupakan seleksi rutin, sedangkan PSDP seleksi dari Mabes TNI. Khusus jalur alumni AAU, bagi yang lolos diberi kesempatan melanjutkan masuk Sekbang dan bagi yang tidak lolos akan melanjutkan karier sesuai penjurusan saat di AAU. Ditanya awal pembelajaran, dia mengatakan untuk pendidikan di Sekbang dimulai dengan ground school. Di sini para siswa akan mendapatkan materi dan teori tentang penerbangan dasar. Setelah menyelesaikan tahap ini, mereka diperkenalkan dengan pendidikan terbang.
Untuk pendidikan terbang ada dua tahap latih dasar dan latih lanjut. Latih dasar sebanyak 86 jam terbang dan latih lanjut 95 jam terbang. “Latih dasar selain menentukan tahap selanjutnya juga untuk mengetahui bakat siswa guna menentukan posisi sebagai penerbang, apakah tempur, angkut atau heli,” papar alumni AAU 1988 ini. Imram menuturkan, siswa yang lolos latih dasar untuk latih lanjutnya sesuai penjurusan. Untuk pesawat tempur dan angkut tetap di Sekbang Lanud Adisutjipto, bagi penerbang heli ditempatkan di Skuadron 7 Kalijati, Subang, Jawa Barat. Khusus penerbang angkut menggunakan pesawat latih Grob.
Sementara pesawat tempur dengan pesawat latih KT 1 Woong Be. Bagi yang lolos akan dilantik menjadi penerbang militer dan penempatannya sesuai kebutuhan skuadron baik tempur, angkut atau heli. Namun, sebelum mereka mengawaki pesawat, terlebih dahulu mengikuti pola pembinaan di skuadron masing-masing. “Tahapan-tahapan itu harus diselesaikan calon penerbang pesawat militer. Sehingga penerbang yang dihasilkan benar-benar qualified ,” ujar alumni Sekbang Angkatan 40 tersebut.
Selain itu, juga dikarenakan penerbang tersebut akan menjadi tulang punggung dalam mengawaki organisasi TNI AU. Sehingga penerbang harus melewati jenjang atau kriteria ketat dan selektif. “Sebab alutsista yang diawaki bukan hanya mahal tapi juga menerapkan teknologi tinggi. Terlebih pesawat tempur menggunakan teknologi mutakhir, tentunya bukan hanya menerbangkan namun bagaimana menjadikannya sebagai senjata,” kata Imran. Di TNI AU, yang maju ke garis depan medan pertempuran ialah perwiranya. Sementara anggotanya ada di belakang untuk menyiapkan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
“Karena itu, kualitas atau kualifikasi penerbang sudah melewati jenjang atau kriteria yang ketat dan selektif,” tandas siswa SIP Angkatan 42 dengan number Jupiter 307 itu. Untuk pendidikan Sekbang hingga sekarang sudah angkatan ke-92. Selain ITU, Sekbang Lanud Adisutjipto juga menyelenggarakan sekolah instruksi penerbang dan navigator. Untuk instruktur penerbang sudah angkatan ke- 75 dan navigator ke-12.
“Sekbang Lanud Adisutjipto merupakan institusi satusatunya yang menyelenggarakan sekolah penerbang, terutama TNI AU. Meski untuk pendidikan terbang ini juga ada titipan dari TNI AD dan AL, yang dinamakan pendidikan Sekbang Terpadu,” kata Imran.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=3&date=2016-02-14
Kamis, 28 Januari 2016
Bung Karno Mendobrak PBB,Sejarah Yang Membanggakan Bagi Bangsa Indonesia..
Bung Karno Mendobrak PBB,Sejarah Yang Membanggakan Bagi Bangsa Indonesia..
Percaya diri, satu kata yang tepat untuk kita letakkan di dada Presiden Soekarno. Terlalu banya catatan kecil dimana Presiden Soekarno mendobrak Protokoler International untuk mengikuti Protokoler ala Soekarno. Jangankan hanya di Negara kelas 3, Amerikapun harus mampu menekan dada atas dobrakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Maka tak heran apabila setiap kunjungan kenegaraan keberbagai Negara sosok Presiden Soekarno selalu menjadi Head Line news. Tak terkecuali lembaga besar seperti PBB.
DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum.
Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK begitu marah dan kecewa.
Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial. Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen Koffi Annan, menjatuhkan sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat.
“Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina,” kata Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota tetap DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam persoalan-persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin.
Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata “globalisasi” atau saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis. Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah mengucapkannya.
“Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang,” ujar Sang Putra Fajar.
Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri, Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun, yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera, melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang film berusia muda.
Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times, sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari Bung Karno.
Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan, pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan, mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20, yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat “senasib dan sepenanggungan” di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak hubungan yang sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun Timur.
Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.
Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis, peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi “soko guru” sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah, pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi, membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.
Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu pemberontakan PRRI-Permesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar pemimpin yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Il-sung, pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk.
Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan, wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga Ganefo belaka.
***
SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.
Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.
Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi merdeka.
Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi “politik global” Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai etnis. Pendek kata, ia lebih “Indonesia” ketimbang menjadi seorang yang “Jawasentris.”
Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah “Indonesia kecil” yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah “visi dunia” seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia belaka.
Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari. Kebijakan anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin.
Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.
*** ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja, satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang “stabil” pada masa itu.
Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara, dan antara Kuba dengan AS.
Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau krisis militer.
Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-khususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno mesti dilenyapkan.
Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.
Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih hebat dari politik global Bung Karno?
Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.
Sebagai penerus sejarah bangsa ini, kita hanya mampu bertanya “Apakah masih mungkin akan terlahir kembali sosok pemimpin yang setara Bung Karno.” Jawabnya ada dibalik sejarah yang akan kita jelang.
Salam Revolusi DAN DI RANGKUM DI BERBAGAI SUMBER

Selasa, 24 Maret 2015
Selamatkan Remaja Kita Dari ‘Terorisme” Moral.
Selamatkan Remaja Kita Dari ‘Terorisme” Moral.

BEBERAPA waktu lalu masyarakat memprotes iklan hotel di Kota Batu yang akan memberikan diskon lima puluh persen bagi sepasang kekasih yang menginap untuk merayakan Valentine’s Day.
Belum sempat kecemasan berlalu, sudah muncul beberapa mini market menjajakan coklat “banded” dengan kondom. Sungguh miris melihatnya. Seolah bulan Februari identik dengan hari ekspresi cinta bagi sepasang kekasih.
Apakah hanya saya saja yang terlalu berlebihan melihat kemirisan ini?
Dari hari ke hari media kita memberitakan pesta seks pelajar, siswa SMP yang melahirkan masih menggunakan seragam sekolah.
Aparat dan pemerintah –didukung media massa—bahkan sibuk mengejar pelaku teror. Bahkan mereka yang masih terduga langsung ditembak mati tanpa pengadilan.
Sementara pornografi yang racunnya lebih berbahaya dibandingnarkoba dan tindak pidana terorisme, seolah luput dari perhatian. Pornografi jelas ‘terorisme moral’ karena racunya melemahkan, menghilangkan potensi remaja yang luar biasa.
Potensi generasi muda yang seharusnya disediakan untuk melejitkan bersemangat mencari ilmu dan berlomba untuk menorehkan berbagai prestasi, justru dihancurkan oleh pornografi.
Apa jadinya negeri ini jika calon calon pemimpinnya adalah generasi yang lemah dan rusak?
Belum lama ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kembalimenegaskan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi lantaran biaya untuk belanja pornografi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.
Beberapa pejabat dan pengamat mengatakan, saat ini Indonesia disebut sudah masuk darurat pornografi.
Sementara untuk kasus narkotika dan obat terlarang (Narkoba),Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar belum lama ini mengatakan, biayanya rehabilitasi pecandu Narkoba minimal Rp 2.1 juta per bulan perorang.
Padahal, ada sekitar 27 ribu pecandu narkotika yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sementara tempat rehabilitasi yang dimiliki BNN jumlahnya terbatas dan hanya mampu menampung 2 ribu orang per tahunnya.
Betapa besar biaya yang dibutuhkan negara untuk melakukan rehabilitasi dibanding jika kita mencegahnya dari awal.
TIGA PILAR
Sesungguhnya perbaikan kondisi ini bergantung pada tiga pilar; kualitas keimanan individu, control masyarakat dan tanggung jawab Negara.
Sudah saatnya ada sinergi dari keluarga, masyarakat dan Negara. Masing-masing bertanggungjawab untuk fokus pada pembentukan generasi yang akan menjadi calon pemimpin kelak.
Orangtua menjadi sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya,membimbing mereka menggapai cita-cita mulia.
Demikian juga masyarakat tidak abai terhadap kerusakan di sekitar mereka dan pemerintah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menerapkan hukum secara tegas. Kesamaan cara pandang akan generasi terbaik yang harus dihasilkan akan menyelamatkan generasi kita.
Semoga Allah menyelamatkan generasi kita menjadi generasi terbaik agar terhindar dari ‘terorisme’ moral.*
Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
Kamis, 05 Maret 2015
Menengok nilai perdagangan RI-Australia sebelum misi dagang diboikot
Menengok nilai perdagangan RI-Australia sebelum misi dagang diboikot
Biyadika - Australia mulai menunjukkan keseriusannya ingin memutus hubungan dagang dengan Indonesia terkait eksekusi mati duo Bali Nine. Ini terlihat dari dibatalkannya lawatan Menteri Perdagangan Australia Andrew Robb beserta rombongan ke Indonesia. Rencananya rombongan hendak ke Indonesia Maret 2015 tapi dibatalkan setelah Kejaksaan Agung memindahkan duo Bali Nine ke Nusakambangan pagi tadi, Rabu (4/3).
Menteri Luar Negeri Australia Julie Isabel Bishop menyatakan misi dagang itu tidak patut dilanjutkan saat negaranya mengkritik keputusan Indonesia.
"Ini bukan waktu yang tepat bagi Australia untuk melawat ke Indonesia dalam misi dagang yang besar," ujarnya seperti dilansir Sydney Morning Herald.
Jika hubungan dagang kedua negara ini benar diputus, berapa nilai perdagangan Indonesia dengan negeri Kanguru tersebut?
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke Australia cukup besar. Sepanjang 2014, nilai ekspor Indonesia ke Australia mencapai miliaran dolar Amerika. Pada Januari nilai ekspor Indonesia ke Australia tercatat sebesar USD 565 juta, Februari USD 390 juta dan Maret USD 395 juta. Sedangkan untuk April tercatat USD 611 juta, Mei USD 395 juta, Juni USD 350 juta. Kemudian untuk Juli USD 388 juta,
Agustus USD 305 juta, September USD 491 juta, Oktober USD 490 juta dan November USD 306 juta.
Sedangkan untuk nilai impor Indonesia dari Australia tercatat pada Januari sebesar USD 377 juta, Februari USD 390 juta, Maret USD 456 juta dan April 503 juta. Kemudian Mei 420 juta, Juni USD 539 juta, Juli USD 488 juta, Agustus USD 497 juta, September USD 539 juta, Oktober USD 540 juta dan november USD 448 juta.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia cukup percaya diri menyikapi protes keras Brasil dan Australia. Bahkan, dua negara tersebut diminta 'tak banyak tingkah' jika menginginkan hubungan dagang dengan Indonesia tetap berlanjut. Selama ini, Indonesia masih menjadi 'primadona' produk ekspor Brasil dan Australia.
Jika protes keras terhadap kedaulatan Indonesia terus dilontarkan Brasil dan Australia, pemerintah mengancam menutup keran importasi dari dua negara.
"Ya kalau masih seperti itu, kita akan cari komoditi negara lain," tegas Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nus Nuzulia Ishak, di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (25/2).
Setidaknya ada lima komoditas asal Brasil yang cukup besar diekspor ke Indonesia. yakni Soybean atau kacang kedelai senilai USD 845,83 juta, Jagung senilai USD 310,95 juta, Kain Katun senilai USD 289,86 dan Gula. "Kalau dari Brasil ada beberapa komoditi ekspor dengan nilai tertinggi di tahun 2014," tuturnya.
Produk Australia di Indonesia juga terbilang besar. Komoditas yang diimpor Indonesia dari negeri Kanguru tersebut antara lain Gandum, hewan ternak hidup, Gula, Briket Batu Bara, Daging Beku, Alumunium, Bijih Besi, besi bekas dan produk harian masyarakat.
"Nilai impor gandum Indonesia dari Australia tahun 2014 saja sekitar USD 1,26 miliar, sedangkan untuk nilai ekspor gandum Australia ke dunia di tahun yang sama senilai USD 5,37 miliar," bebernya.
Nus kembali menegaskan jika Brasil dan Australia masih melakukan intervensi pada Indonesia, pemerintah tidak segan-segan menutup keran impor dari keduanya. "Kita akan cari komoditi tersebut di negara lain," katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)