1. Masuknya Islam di Palembang
Berdasarkan sumber-sumber Arab dan Cina, pada abad ke-9 di Palembang, yang diyakini sebagai ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya, telah terdapat sejumlah pemeluk Islam di kalangan penduduk pribumi Palembang. Hal ini merupakan konsekwensi dari interaksi antara penduduk Sriwijaya dengan kaum Muslimin Timur Tengah yang sudah berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk Muslim tetap dihargai hak-haknya sebagai warga kerajaan sehingga sebagian dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan. Sejumlah warga Muslim telah dikirim oleh Pemerintah Sriwijaya sebagai duta kerajaan, baik ke Negeri Cina maupun ke Arabia.[1]
Bukti-bukti historis tersebut membantah pendapat sejarawan terkenal Thomas Arnold yang menyatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Sumatera Selatan dibawa oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel kira-kira tahun 1440.[2] Pendapat ini juga dibantah oleh Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Sumatera Selatan lebih dahulu dari Minangkabau, pedalaman Jawa, atau bahkan Sulawesi Selatan.[3] Sejarawan Indonesia terkenal ini bahkan menduga bahwa sejak akhir abad ke-15 Palembang telah menjadi daerah enclave Islam terpenting di Nusantara sehingga Raden Fatah yang lahir di Jawa belajar agama Islam di Palembang.
Pada awal masuknya Islam di Nusantara, Palembang merupakan salah satu tempat yang pertama kali mendapat pengaruh Islam. Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisabon (yang lama menetap di Malaka, yaitu pada tahun 1512 hingga 1515), pada tahun 1511, mengunjungi Jawa dan giat mengumpulkan informasi mengenai seluruh daerah Malaya-Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental, sebagaimana yang dikutip Ricklefs (1995), dia mengatakan bahwa pada waktu itu sebagian besar raja-raja Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri yang masih belum menganut Islam. Menurut Pires, mulai dari Aceh di sebelah utara terus menyusur daerah pesisir timur hingga Palembang, para penguasanya beragama Islam. Di sebelah selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera hingga pesisir barat, sebagian besar penguasanya tidak beragama Islam. Di Pasai terdapat komunitas dagang Islam internasional yang sedang berkembang pesat dan Pires menghubung-hubungkan penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian para pedagang Muslim itu. Akan tetapi, penguasa Pasai belum berhasil meng-Islam-kan penduduk pedalaman. Raja Minangkabau dan seratus pengikutnya disebutkan sudah menganut agama Islam, tetapi penduduk Minangkabau lainnya belum. Meskipun demikian, Pires menyebutkan bahwa agama baru itu makin hari makin bertambah pemeluknya di Minangkabau.
Hurgronje (1973),[4] berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan masuk ke daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad sebelum Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan Hulagu (raja Mongol) pada tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha penyebaran Islam ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi sendiri, dengan daya tariknya pula, tanpa campur tangan penguasa negara.
Hasil penelitian L.W.C. van den Berg menunjukkan bahwa orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18, sedangkan kedatangan mereka di Pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana kemudian sebagian menyebar ke Palembang dan Pontianak.[5]
Sejak abad yang lalu, di Pulau Sumatera koloni Arab yang besar hanya ada di Aceh dan Palembang. Koloni Arab yang ada di Palembang dianggap yang paling menarik, baik dari sudut pandang sosial maupun dari sudut pandang ekonomi perdagangan. Pada awal abad ke-19, Sultan Pealembang, Sultan Mahmud Badaruddin, memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada bangsa Arab untuk menetap di ibukota negerinya.[6]
Setelah penduduk Kota Palembang, menganut Islam, daerah Iliran yang berada di bawah pengaruh budaya Kota Palembang pun mengalami proses Islamisasi. Daerah Uluan meskipun kemudian juga menganut agama Islam, tetap memperlihatkan ciri khas yang berbeda. Penyebab utamanya adalah komunikasi yang sulit dengan Palembang, yang terpisah lebih dari seminggu waktu perjalanan, sehingga menyulitkan terjadinya interaksi antara masyarakat Uluan dengan masyarakat kota.
Tidak banyak diketahui mengenai perkembangan Islam di Sumatera Selatan sampai menjelang berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Selama kira-kira dua abad Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Palembang baru resmi menjadi kesultanan yang berdiri sendiri ketika Raden Tumenggung memproklamasikan dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman pada tahun 1666 dan kemudian mengambil gelar Sultan Jamaluddin pada tahun 1681.[7] Tidak begitu jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik di Palembang termasuk lemah atau kuatnya pengaruh kultur Jawa di Palembang dan lemahnya identitas Melayu Palembang. Namun yang menarik adalah bahwa, sejak Palembang resmi memisahkan diri dari protektorat Kerajaan Mataram, semakin ditingkatkan usaha menerapkan hukum Islam di kelsultanan. Struktur Kesultanan Palembang terus mengalami penyesuaian dengan ajaran Islam
2. Perkembangan Islam di Palembang
Tome Pires, berpendapat bahwa setelah melemahnya pengaruh Majapahit dan Cina di Palembang adalah akibat perkembangan Islam yang pesat di kalangan masyarakat Melayu Palembang. Hal ini juga terkait dengan kebangkitan Islam di Nusantara, terutama kerajaan-kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa dan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di luar Jawa, termasuk di Pelembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan kerajaan Islam Demak, sehingga apapun yang terjadi di Demak, akan sangat mempengaruhi Palembang. Menurut B.H.M. Vlekke, adanya bukti-bukti ekspansi Islam kebagian timur Jawa saat itu. Di bagian barat, terus-menerus adanya tekanan oleh Pangeran Demak. Cirebon mereka taklukkan sekitar tahun 1475, dan kemudian menyerang dan mengalahkan Palembang dan Jambi di Sumatera yang diperkirakan terjadi pada tahun 1500.
Setelah diserang dan dikalahkan oleh Demak, dalam waktu relatif singkat armada laut Palembang bangkit kembali, yaitu pada tahun 1512-1513 armada laut ini bergabung dengan armada Pati Unus dari Jepara menyerang Malaka yang telah diduduki oleh Portugis tahun 1511. Korban pasukan gabungan ini sangat besar. Tome Pires mengatakan banyak orang Palembang yang mati dan armada gabungan ini hanya kembali dengan 10 jung dan 10 kapal barang.
Seperti telah diketahui bahwa selama berabad-abad tidak ada seorang pun yang mengungkapkan adanya serangan Demak atas Palembang, apalagi raja Demak yang pertama, Raden Patah, adalah kelahiran Palembang. Lebih memantapkan hubungan Palembang dengan Demak menurut Serat Khanda, dinyatakan bahwa istri Pangeran Trenggana, adalah putri dari tokoh legenda Aria Damar yang berasal dari Palembang.
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam di Palembang adalah sejalan dengan berdirinya Kerajaan Palembang Darussalam atau masa kesultanan di palembang. Berdirinya Kesultanan Palembang diawali dengan peristiwa perebutan kekuasaan di Demak pada tahun 1546. Ki Gede Ing Suro, pengikut setia Pangeran Aria Penangsang yang tewas dalam perebutan kekuasaan yang kemudian dimenangkan oleh Pangeran Adiwijaya, Sultan Pajang. Ki Gede Ing Suro berpendapat bahwa meskipun berada di bawah kekuasaan Demak, Palembang tidak perlu menyerang Pajang. Oleh karena Kerajaan Demak sudah dikuasai oleh Pajang, maka Ki Gede Ing Suro menganggap Palembang secara otomatis kemudian menjadi wilayah merdeka. Ki Gede Ing Suro kemudian mendirikan Kesultanan Palembang dengan meletakkan dasar-dasar keraton Jawa di Palembang. Kapan waktu persis berdirinya Kesultanan Palembang tidak dapat diperkirakan. Ada yang memperkirakan pada tahunh 1542 atau 959 H, tetapi beberapa catatan menyebutkan waktunya bahkan lebih awal, yaitu dengan adanya catatan mengenai berakhirnya masa kekuasaan Ki Gede Ing Suro (tua) pada tahun 966 H (dari pemerintahannya selama 22 tahun). Berdasarkan keterangan terakhirt ini, berarti Kesultanan Palembang mulai berdiri tahun 944 H. Hal ini sesuai dengan catatan R.A. Bakri dan koleksi Tropen Institut.
Dari beberapa catatan mengenai Palembang, Ki Gede Ing Suro (tua) setelah memerintah selama 22 tahun kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada saudaranya Ki Gede Ing Ilir yang berkuasa selama lebih dari 10 tahun. Kemudian, pada tahun 1587. Ki Gede Ing Suro (muda) dengan beberapa orang pengikutnya melarikan diri dari Demak ke Palembang dan menerima kekuasaan dari ayahnya, Ki Gede Ing Ilir.[8] Oleh karena dinobatkan di Palembang, Ki Gede Ing Suro (muda) lebih dikenal sebagai cikal bakal penguasa Kerajaan Palembang sampai berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada sekitar tahun 1575 Ki Gede Ing Suro (muda) wafat dan dimakamkan di daerah I-Ilir Palembang. Sebagai penggantinya kemudian adalah Ki Mas Adipati yang mempunyai empat orang putra dan satu orang putri. Ia memerintah sampai tahun 1587. Setahun kemudian, putranya yang bernama Den Arya naik tahta menggantikan dirinya. Den Arya hanya sebentar memerintah, karena dia kemudian terbunuh oleh kelakuannya yang kurang baik. Yang menggantikan Den Arya sebagai raja adalah adiknya yang bernama Pangeran Seda Ing Pura yang memerintah Palembang tahun 1630-1639.[9]
Penguasa Palembang yang dikenal sebagai tokoh pembangunan modern adalah Sultan Mahmud Badaruddin I atau yang juga dikenal dengan nama Sultan mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, yang memerintah pada tahun 1724-1758. Selama masa pemerintahannya, Sultan ini banyak melakukan pembangunan kota, di antaranya adalah makam Lembang atau yang dikenal juga dengan nama Kawah Tengkurep (1728), Kuto Batu (Kuto Lamo, 29 September 1737), Masjid Agung (26 Mei 1748), dan terusan-terusan (kanal) di sekitar Kota Palembang. Sultan ini pulalah yang konon kabarnya memprakarsai pembangunan Benteng Kuto Besak. Selain itu Sultan Mahmud Badaruddin I juga mengembangkan tambang timah di Bangka dan menata sistem perdagangan agar lebih menguntungkan kesultanan.
Kawasan inti keraton kesultanan Palembang Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara berbatasan dengan Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jalan Sudirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan (benteng) Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan bangunan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah.[10]
Selain melakukan pembangunan fisik di Palembang, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I, juga diperhatikan pengolahan sumber penghasilan kesultanan, antara lain dengan memperluas penambangan timah di Bangka. Pada masa pemerintahannya, untuk memperluas areal tambang didatangkan orang-orang Cina sebagai pekerja. Kontrak perdagangan timah dengan V.O.C. diperbaharui, tetapi banyak pula perdagangan timah ilegal yang dilakukan dengan negara tetangganya, misalnya dengan Riau. Dengan datangnya kemakmuran akibat perdagangan timah dan lada, berkembang pula karya seni pembuatan barang-barang lakuer dan tenun songket.
Pengganti Sultan Mahmud Badaruddin I, berturut-turut adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1768-1776), Sultan Muhammad Baharuddin (1776-1804), Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821), Sultan Ahmad Najamuddin II atau Sultan Husin Diauddin (1813-1817) yang memerintah secara bergantian dengan Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Ahmad Najamuddin III (1819-1921), dan Sultan Ahmad Najamuddin IV (1821-1823) yang merupakan sultan terakhir.
Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada periode klasik kesultanan, menurut Taufik Abdullah, [11] berlangsung tersendat-sendat tidak hanya karena kecilnya peranan istana dalam proses tersebut tetapi juga karena ulama sibuk melayani kebutuhan dan tugas dari istana. Menurut Abdullah, para Sultan Palembang terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan politik dan ekonomi dengan kesultanan-kesultanan lain dan pemerintah Hindia Belanda sehingga kesempatan untuk mengadakan Islamisasi menjadi berkurang. Di samping itu, sultan juga harus menyelesaikan persoalan kesetiaan daerah pedalaman yang merupakan daerah sumber ekspor. Ulama pada periode ini juga tergolong ulama birokrat yang waktu dan pikirannya lebih tercurahkan pada persoalan-persoalan di istana. Sementara ulama tidak mempunyai corak hubungan yang intim dengan sultan dan pengaruh mereka sangat tergantung dengan kemampuannya meyakinkan Sultan. Akan tetapi, kalau analisis ini tepat, ia harus dipahami dari perspektif perbandingan dengan proses perkembangan Islam di kesultanan-kesultanan lain di Nusantara.
Betapa pun lambannya perkembangan Islam di Sumatera Selatan, tetapi hasil usaha para sultan dan ulama masih nampak dalam realitas historis. Di samping peningkatan kualitas Islam kultural maupun politis, Islam menjadi agama yang dianut penduduk di berbagai daerah di pedalaman Sumatera Selatan. Institusi-institusi keagamaan seperti masjid turut mengalami perkembangan. Sultan Abdurrahman pada tahun 1663 mendirikan sebuah masjid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Masjid Lama. Pada tanggal 25 Jumi 1748 sebuah masjid besar diresmikan penggunaannya oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Masjid yang berlokasi di pusat Kota Palembang ini sekarang dikenal dengan sebutan Masjid Agung. Setelah runtuhnya Kesultanan Palembang, beberapa masjid didirikan oleh ulama yang kaya dengan mendapat dukungan dari masyarakat.[12]
Kesultanan Palembang dihapus oleh Belanda pada tanggal 7 Oktober 1823. Mulai saat itu Palembang menjadi daerah administrasi Hindia Belanda dengan Joan Cornelis Reijnst sebagai residen. Pada tahun 1825, I.I. van Sevenhoeven ditempatkan sebagai Resident Palembang.[13] Direbutnya keraton Kesultanan Palembang oleh pasukan Belanda pada tahun 1821 berakibat besar bagi perbandingan intern elite Palembang. Dengan jatuhnya keraton, penghasilan yang dulu diperoleh kaum ningrat palembang dari sistem pajak lama dihapuskan. Dengan demikian Priyayi kehilangan wibawa ekslusif mereka atas penduduk kota lain. Perkembangan ini juga mempengaruhi pembagian status dan kekuasaan di kalangan elite kota demi kepentingan sayid. Para saudagar kaya justru berhasil memperkuat kedudukan mereka dengan bertindak sebagai pelindung agama. Klien rakyat jelata mereka diwajibkan setia mematuhi kewajiban moral yang berkenaan dengan upacara agama, sementara itu tanpa perlindungan, para priyayi dibiarkan mngalami proses kemiskinan yang tak dapat dielakkan secara perlahan-lahan. Satu-satunya kenangan hak istimewa ini ialah pembayaran pensiun yang dilakukan penguasa kolonial kepada anggota keluarga paling penting.
3. Proses Islamisasi di Palembang
Walaupun pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah ada penduduk Muslim, agama Islam belum menjadi agama negara. Setelah melalui proses yang panjang yang berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Raden Patah alias Raden Panembahan Palembang yang lahir di Palembang, sebagai Pendiri dan Raja Demak yang pertama (1478-1518), sangat besar pengaruhnya terhadap Palembang atau sebaliknya. Raden Patah berhasil memperbesar kekuasaan dan menjadikan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Akibat pertentangan politik, Kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama. Perebutan kkuasaan antara Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Adiwijaya dari Pajang disebabkan masalah suksesi dan warisan Kerajaan Demak, mengakibatkan Demak tidak dapat bertahan lama. Kemunduran Demak mendorong tumbuhnya Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.[14]
Rombongan dari Demak yang dikepalai Ki Gede Ing Lautan (1547-1552) termasuk kelompok Jipang yang kalah dalam pertarungan kekuatan politik tersebut berlari dan menetap di Palembang Lamo (Kelurahan 1 Ilir) dan mendirikan Keraton Tradisional Jawa di Palembang yang diyakini pada masa itu sebagian penduduknya telah beragama Islam. Pimpinan yang berkuasa saat itu adalah Dipati Karang Widara, keturunan Libar Daun. Keraton yang didirikan adalah istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras.[15] Berita ini dibuktikan dari laporan Jonathan Claesen (tanggal 30 Juni 1663) yang menyatakan antara lain, bahwa dia tidak mendapatkan kuli untuk membangun Loji Sungai Aur, karena penduduk tiap-tiap hari sedang membangun sebuah masjid baru. Istilah baru ini oleh JWJ Wellan (Bijdrage tot de Geschiedenis van de Masjid lama te Palembang, Culturell Indie, Vol. I, 1939, hlm. 305-314), berkesimpulan seandainya masjid yang dibangun oleh Sultan Abdurrahman adalah masjid baru berarti sebelumnya sudah ada masjid tua. Menurut JWJ Wellan masjid tua dimaksud terletak di Kuto Gawang tersebut. Masjid ini kemudian dihancurkan oleh ekspedisi Mayor Joan van der Laen pada tahun 1659, di mana saat itu terjadi perang pertama antara Belanda dengan Palembang.
Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah Ki Gede Ing Suro Tuo (1552-1573), kemudian sebagai pengganti selanjutnya adalah Kemas Anom Adipati Ing Suro / Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590). Berturut-turut setelah Ki Gede Ing Suro Mudo wafat, naik tahta Kiemas Adipati, Kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat I Madi Ing Angsoko, Sultan Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit, Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro, Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan, Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Pasarean, Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rajek. Kemudian diganti Sultan Jamaluddin Mangkurat VII Susuhunan Abdurrahman Candi Welan yang juga bernama Pangeran Ario Kesumo (Kiemas Hindi) (1659-1706) yang memproklamirkan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675. Susuhunan bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam.
Dengan diproklamirkannya Kesultanan Palembang Palembang Darussalam ini maka Agma Islam resmi sebagai Agama Kerajaan (negara) sampai masa berakhirnya. Dengan Proklamasi Kesultanan Palembang ini, keterkaitan dengan Mataram, baik kultural maupun politik terputus, dan Palembang mengembangkan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dengan tradisi dan kepribadian sendiri. Kultural jawa yang selama ini tertanam sebagai dasar legitimasi keraton Palembang yang menumbuhkan keterkaitan sembah atau upeti dengan Pajang dan Mataram sudah tidak terjadi lagi. Kultural masyarakat Palembang lebih banyak didasari kultural Melayu.
Sultan Palembang ini mempunyai minat dan perhatian khusus pada agama Islam. Beliau mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan dan budaya Islam. Sultan ini melakukan usaha-usaha tertentu untuk menarik dan merangkul para ulama Arab untuk menetap di wilayahnya. Akibatnya para imigran Arab terutama dari Hadramaut mulai hijrah ke Palembang dalam jumlah yang semakin bertambah yang selanjutnya menjadi pemukim terbesar kedua di Indonesia setelah Surabaya.
Ulama-ulama Arab ini memegang peranan penting dalam kehidupan dan penghidupan penduduk. Pengaruh tradisi, ilmu pengetahuan maupun budaya Islam sangat besar. Atas dorongan para ulama Arab ini pula Sultan Abdurrahman membangun Istana Beringin Janggut dan Masjid, setelah Kuto Gawang terbakar. Masjid yang dibangun ini sekarang dikenal dengan nama Masjid Lama yang terletak di Beringin Janggut Kelurahan 17 Ilir.
Dalam abad ke-18 dan 19, Palembang telah berperan sangat besar dalam mengembangkan budaya Islam di wilayah Sumatera Selatan maupun Nusantara. Palembang menjadi salah satu Pusat Pengkajian Islam berbahasa Melayu, selain Aceh, Banjarmasin, dan Minangkabau.[16]
Gambaran tentang kehidupan beragama pada paruh pertama bad ke-19 di Palembang berdasarkan Laporan Tahunan Residen Palembang dari tahun 1834 dan 1835, menyatakan bahwa di Palembang pada waktu itu golongan ulama (priesterstand) cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap pemerintah kolonial. Ustadz-ustadz ini hanya mencoba meningkatkan ketaatan beribadah masyarakat palembang; suatu usaha yang belum menghasilkan bukti yang nyata pada tahun 1830-an. Dalam pembicaraannya dengan Residen Palembang, Pangeran Penghulu sebagai kepala birokrasi agama malah mengeluh tentang tidak adanya ketekunan agama di kalangan penduduk Palembang. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap agama antara lain terlihat dari sedikitnya jamaah yang mengikuti shalat Jumat di Masjid Agung, satu-satunya masjid di Kota Palembang yang pada saat itu telah berpenduduk lebih dari 20.000 orang.[17]
Kenyataan ini menyebabkan penguasa kolonial tidak menganggap Islam sebagai ancaman terhadap status quo mereka. Akan tetapi, mulai pertengahan abad ke-19 pendapat penguasa kolonial tentang Islam di Palembang mengalami perubahan yang mendasar. Sesudah tahun 1850, di kalangan pegawai pemerintahan kolonial terdapat pendapat umum bahwa penduduk kota justru sangat shaleh, dan taat memenuhi kewajiban agama mereka. Meskipun demikian, orang Palembang belum dianggap fanatik oleh penguasa Belanda; kehidupan beragama tetap terbatas pada penunaian ibadah, seperti Sembahyang Jumat dan berpuasa pada Bulan Ramadhan. Gambaran tentang Islam ini masih diu;angi sampai tahun 1870-an dalam Laporan Tahunan Keresidenan Palembang, yang secara teratur ditutup dengan kalimat: Meskipun shaleh secara lahiriah, rakyat (Palembang) tidak bersifat fanatik dan sama sekali tidak terlihat gerakan (subversif) yang bersifat keagamaan.[18]
Istilah fanatik baru pertama kali muncul dalam wacana kolonial mengenai Palembang pada tahun 1880-an, dan selanjutnya menjadi ungkapan tetap untuk 60.000 penduduk kota fanatik yang mengaji Al-Quran dengan suara keras. Perilaku ritual Islam di Palembang mulai ditaati dengan ketelitian yang mencolok, Masjid Agung ramai dikunjungi pada hari Jumat, baik oleh masyarakat dari strata sosial tinggi maupun rendah.
Tahun 1881 merupakan titik balik citra Islam di mata kolonial. Sebelumnya pegawai kolonial tidak melihat Islam sebagai ancaman, namun sesudah tahun 1881, ibukota Palembang dianggap sebagai sarang kejahatan haji fanatik dan orang Arab, perubahan citra ini terutama tercermin dalam perubahan siklus terhadap masyarakat Hadramaut di Palembang. Penangkapan Syarif Abdullah Aisegaf dipandang sebagai bukti keterlibatan Alawiyin dalam propaganda Pan-Islamistis. Sebenarnya sebagian besar Sayid tidak turut campur. Akan tetapi, ide bahwa jaringan orang Turki dan Arab secara rahasia terlibat dalam persiapan perang suci, sudah tertanam di benak penguasa kolonial. Selama hari-hari pertama kepanikan, berita menggemparkan dari Sumatera ditafsirkan begitu rupa oleh Batavia, sehingga orang mengganggap telah ditemukan komplotan para pemimpin Arab di Palembang, meskipun pendapat ini segera dikoreksi, pemerintah kolonial tetap menganggap Palembang sebagai pusat perlawanan terhadap negara kolonial, berkat semangat fanatik yang dimiliki penduduk kota.[19]
Kebangkitan Islam di Palembang mulai terlihat tanda-tandanya antara tahun 1913 dan 1916. Pada bulan November 1913, di Palembang didirikan cabang Syarekat Islam (SI), yang dengan cepat merambat ke pedalaman. Selama tiga tahun, SI amat berhasil di Sumatera Selatan, dan dalam waktu singkat, pimpinan gerakan memobilisir rakyat pedesaan untuk memakai lambang agama. Sebagai tanda semangat keagamaan, pegawai Belanda memperhatikan, pada puncak gerakan politik tahun 1915 dan 1916, masjid-masjid di Keresidenan palembang ramai dikunjungi orang. Bahkan di Uluan Palembang, penduduk desa, yang semula tidak menghiraukan kewajiban ritual mereka, kelihatan ramai mengunjungi masjid waktu sembanhyang Maghrib dan Isya. Akan tetapi, mobilisasi massa ini, yang sifatnya sementara saja, belum mampu menerobos secara definitif dalam imbangan kekuatan kebudayaan. Dengan dihapuskannya agitasi politik pada tahun 1916, lenyap pula minat rakyat pedesaan untuk melaksanakan kewajiban religius.[20] Jika politik belum mampu mengubah pola kebudayaan yang lama dibekukan birokrasi kolonial, kekuatan ekonomi pada dasawarsa berikut justru berhasil mendobrak status quo. Dengan peningkatan kesejahteraan pada tahun 1925, hasrat untuk memperluas agama bertambah dengan cepat smpai ke pelosok pedesaan.
Di balik proses Islamisasi ini, uang merupakan motor yang kuat. Sesungguhnya dalam kebudayaan Palembang, kekayaan tidak cukup untuk menjamin prestise sosial. Dalam masyarakat perkotaan, yang didominasi elite Hadramaut, uang hanya menjadi lambang sosial jika modal ekonomi ditransformir menjadi modal religius. Dasar materiil proses ini ialah prasarana agama seperti masjid, langgar (surau), dan sekolah agama, yang didirikan oleh pelindung yang kaya. Patron wakaf ini sangat bergantung pada para pedagang elite dan oleh karena itu sangat peka terhadap perkembangan konjungtur. Cara perlindungan ini menjelaskan pula, mengapa sebagai akibat konjungtur tinggi pada tahun 1920-an, prakarsa baru dikembangkan di bidang agama. Kekayaan baru yang dihasilkan kopi dan karet, baik di kota maupun di pedesaan, diinvestasikan lagi di bidang agama dalam bentuk wakaf. Akibat etos religius ini, sesudah tahun 1925 terjadi persaingan yang meningkat antara pedagang kaya, sebagai pelindung agama.
4. Perkembangan Pendidikan Islam di Palembang
Persaingan yang terjadi antara pedagang kaya di ibukota Keresidenan Palembang menyebabkan perubahan struktural di bidang pengajaran agama. Sesudah tahun 1925, pengajaran agama di Palembang masih bersifat tradisional. Pengajaran hanya diberikan di langgar dan masjid kepada kelompok murid dari usiayang berbeda-beda. Pertama-tama diajarkan mengaji Al-Quran tanpa terlalu memperhatikan pemahamannaskah yang dibaca maupun lagu yang tepat. Tahap awal ini kemudian disusul dengan pengajaran bahasa Arab yang terutama terdiri dari menghafal naskah sederhana. Mereka yang dengan cara ini telah menguasai bahasa Arab, diizinkan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan ulama terkemuka, yang membacakan kitab kuning dalam bahasa Arab dan memberikan komentar dalam bahasa Melayu.
Sesudah tahun 1900, bentuk tradisional demikian makin dikritik. Untuk dapat bersaing dengan sektor pendidikan kolonial, guru agama Islam mulai mengadakan pembaharuan sehingga isi maupun organisasi pengajaran agama berubah banyak sekali. Dalam dasawarsa pertama abad ke-20, di Jawa dan di Minangkabau didirikan madrasah, yang untuk pertama kali memberikan pelajaran di dalam kelas. Di sekolah baru ini, perhatian banyak diberikan kepada pelajaran bahasa Arab, supaya murid lebih mengerti naskah, dan untuk itu dikembangkan bahan pelajaran baru dibantu alat didaktis yang lain, seperti papan tulis dan bangku sekolah, yang untuk pertama kali diperkenalkan di kelas. Di berbagai sekolah agama sebagian dari kurikulum disediakan untuk mata pelajaran umum seperti sejarah dan ilmu bumi.[21]
Pada awal abad ke-20, bentuk pengajaran baru seperti ayng dikembangkan di Jawa, belum mendapat banyak perhatian di Palembang. Di ibukota Keresidenan Palembang pendidikan agama Islam baru menerima impuls pembaharuan ketika pada tahun 1924 beberapa saudagar berkumpul untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan Perkoempoelan Dagang Islam Palembang. Pada rapat pertama, dirumuskan dwi-tujuan organisasi yang akan memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota, sekaligus meningkatkan kualitas pengajaran agama Islam di Palembang (IPO 1924: 370). Pada tahun berikut, dimulai pengumpulan uang, dan dengan dana ini PDIP kemudian mendirikan madrasah di Kampung Sekanak, dekat dermaga perdagangan.[22] Madrasah Diniyah Aliyah ini bukan saja contoh yang baik dari hubungan erat antara perdagangan dan lembaga Islam, melainkan juga merupakan ilustrasi nyata dari peranan bentuk perlindungan dalam proses Islamisasi, dan persaingan antara pelindung agama yang meningkat pesat selama periode konjungtur tinggi.
Pada awalnya madrasah ini dimaksudkan sebagai proyek kolektif kaum dagang di Palembang. Pada rapat pertama pengumuman pendirian sekolah agama disambut dengan penuh antusias, kemudian diadakan acara buka dompet guna mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung sekolah. Sayangnya antusiasme para pendiri PDIP cepat berkurang, sehingga dalam praktiknya Madrasah Diniyah Aliyah semata-mata mengandalkan bantuan firma H. Akil , suatu perusahaan besar yang aktif dalam perdagangan kopi dan karet di pelabuhan Palembang. Perkoempoelan Dagang Islam Palembang dengan cara halus kemudian diubah menjadi Perkoempoelan Dagang Bangsa Melajoe.
Bagi masyarakat Palembang yang didominasi minoritas Arab, perubahan nama ini bukan tanpa arti. Pada tahun 1907, beberapa keluarga Arab telah mengembangkan prakarsa baru di bidang pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab yang bernama Al-Ihsan. Inisiatif ini agak dirangsang oleh rasa persaingan yang kuat dengan minorits Cina, yang terlebih dahulu telah membuka sekolahnya. Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan nama sama demi kepentingan pendidikan kaum sayid.[23] Selain sekolah Al-Ihsan, pada tahun 1914 didirikan Madrasah Arabiyah di Kampung 13 Ulu, tempat tinggal marga Al-Munawar, yang termasuk sayid kelas tinggi.[24] Sekolah yang dibiayai keluarga Al-Munawar ini, terutama dikunjungi oleh anak-anak (Arab) dari kampung-kampung sekitar 13 Ulu. Di kedua madrasah ini, pengajaran masih diatur menurut model tradisional sehingga tidak jauh berbeda dengan isi kurikulum seperti yang diberikan di langgar. Oleh karena itu, minat masyarakat Palembang di luar kampung Arab untuk mengikuti pelajaran di madrasah ini tidak terlalu besar sehingga sekolah itu hidup agak lesu.
Persaingan dari Madrasah Diniyah Aliyah yang dibiayai Perkoempoelan Dagang Bangsa Melajoe mengakhiri keadaan ini, dan dengan begitu rangsangan baru diberikan kepada lembaga pendidikan kaum sayid. Dua puluh tahun sesudah pendirian Madrasah Al-Ihsan yang pertama, perkumpulan ini didirikan lagi dan kemudian disusun suatu panitia sekolah yang terdiri atas anggota muda bangsa Alawiyin yang terutama berasal dari bagian ilir kota.[25] Di sekolah baru ini pengajaran diberikan dengan sistem kelas, berdasarkan kelompok umur, kepada anak lelaki maupun perempuan di tingkat sekolah dasar (ibtidaiyah). Di bagian Ulu kota, prakarsa Al-Ihsan diambil alih oleh Sayid Muhammad Al-Munawar, yang pada tahun yang sama mengadakan reorganisai di Madrasah Arabiyah. Guna meningkatkan mutu pendidikan, didatangkan guru dari Jamiat Al-Khair di Betawi, dan kemudian pengetahuan umum seperti bahasa Belanda dan Inggris, dimasukkan dalam kurikulum Madrasah Arabiyah.
Walaupun madrasah-madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 berhasil melakukan pembaharuan di bidang pendidikan agama, jika ditinjau dari segi sosial, lembaga ini masih mewakilki pola lama yang telah dikembangkan selama abad ke-19. Hampir semua madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 menggantungkan diri pada dukungan pelindunganya. Ketergantungan ini tidak hanya terasa di bidang keuangan tetapi juga mendapat ekspresi secara simbolis. Para pelindung madrasah menjadi pusat perhatian masyarakat, dan rangkaian seremoni baru diperkenalkan untuk menegaskan martabat dan penampilan mereka.
Pendidikan Islam di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya, menurut Mahmud Yunus,[26] lebih banyak mengikuti pendidikan Islam di Jawa ketimbang Minangkabau. Pesantren-pesantren lama yang ada di Sumatera Selatan hampir sama dengan pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Di Sumatera Selatan tidak dikenal kitab Dlammun, sebagaimana juga di Jawa. Begitu juga kitab Safinatun Najah yang tidak dikenal di Minangkabau dikenal di Sumatera Selatan dan Jawa.
Pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah di Palembang banyak bermunculan semenjak berkembangnya agama Islam. Yang termasyhur di antaranya adalah:
1. Madrasah Al-Quraniah. Madrasah ini didirikan oleh Kamas Kiyai H. Muhd. Yunus pada tahun 1920 di Palembang. Madrasah ini terdiri dari bagian Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pada masa keemasannya murid-muridnya bisa mencapai 400 orang dengan guru berjumlah lima orang. Madrasah ini masih hidup sampai sekarang.
2. Sekolah Ahliah Diniah. Madrasah ini didirikan oleh K. Masagus H. Nanang Misri pada tahun 1920 di Palembang. Madrasah ini terdiri dari dua tingkatan, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah.
3. Madrasah Nurul Falah. Madrasah ini didirikan K.H. Abu Bakar Al-Bastari pada tahun 1934 di Palembang. Nurul Falah terdiri dari tiga tingkatan, yaitu; (a) Tingkatan Ibtidaiyah, lama pelajarannya lima tahun; (b) Tingkatan Tsanawiyah, lama pelajarannya tiga tahun; (c) Tingkatan Aliyah, lama pelajarannya dua tahun. Pada masa keemasannya, murid-murid madrasah ini mencapai 600 orang. Madrasah ini masih hidup sampai sekarang.
4. Madrasah Darul Funun. Madrasah ini didirikan oleh Kiyai H. Ibrahim pada tahun 1938 di Palembang. Dahulu Darul Funun ini terdiri dari bagian Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, tetapi sekarang hanya terdiri dari bagian Ibtidaiyah saja.
Lain daripada itu, banyak lagi madrasah-madrasah di Sumatera Selatan mulai dari kota-kota sampai ke dusun-dusun, seperti madrasah-madrasah: iSalathiah, Diniah, Tarbiah Islamiah, Nurul Huda, dan lain-lain. Pada zaman kemrdekaan Indonesia telah didirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) di Palembang.
Kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren Sumatera Selatan hampir sama dengan kitab-kitab yang dipakai pesantren-pesantren di Jawa seperti: Ajrumiah, Syekh Khalid, Azhari, Qathrun Nada, Ibnu Aqil, Matan Bina, Kailani, Sanusiah, Ummul Barahin (Dusuqi), Safinatun-Najah, Fathul Qarib, Fathul-Muin, dan lain-lain. Begitu juga kitab-kitab yang dipakai di madrasah-madrasah Sumatera Selatan hampir sama dengan kitab-kitab yang dipakai di Jawa, terutama Jakarta, karena dekatnya perhubungan antara Sumatera Selatan dengan Jakarta.
Perguruan Tinggi Islam yang ada di Palembang di antaranya adalah Fakultas Hukum Islam yang didirikan pada bulan September 1957 oleh Yayasan Perguruan Islam Tinggi Sumatera Selatan. Fakultas Hukum Islam ini terdiri dari; (a) Persiapan (propaediuse) selama satu tahun; (b) Bacalaureat I dan II selama dua tahun (lengkap); dan (c) Doktoral I dan II selama dua tahun (tamat). Jumlah keseluruhannya adalah lima tahun.
Fakultas Hukum Islam menganut sistem bebas dalam studinya bukan sistem terpimpin. Mahasiswa yang telah mengikuti kuliah pada satu tingkat selama satu tahun diberi kebebasan untuk mengikuti kuliah pada tingkat yang lebih tinggi, kecuali untuk tingkat doktoral. Fakultas Hukum Islam ini mula-mula dipimpin oleh A. Gani Sindang, kemudian oleh K.H. Abu Bakar Bastari sampai tahun 1959. Dosennya pada tahun 1959 berjumlah 12 orang.
[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Historis Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 36.
[2] Thomas Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Jakarta: Rambe, 1979), hlm. 324.
[3] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 206.
[4] Cornellis Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pura-pura masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Gafar untuk mempelajari Islam di Makkah. Dia kemudian dikirim ke Aceh untuk mempelajari kultur masyarakat Aceh yang waktu itu sulit ditundukkan Belanda.
[5] L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1989), hlm. 74.
[6] Ibid., hlm. 77.
[7] Ibid., hlm. 202.
[8] Johan Hanafiah, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang (Palembang: Pemda Tingkat II Kotamadya Palembang, 1998).
[9] Ibid. hlm. 167
[10] Ibid., hlm. 179.
[11] Taufik Abdullah, op. cit., hlm. 207
[12] Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan Sejarah (Palembang: Universitas Sriwijaya, 1999), hlm. 3.
[13] Bambang Budi Utomo et al., Kota Palembang: dari Wabua Sriwijaya menuju Palembang Modern (Palembang: Paguyuban Masyarkat Peduli Musi, 2005).
[14] Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan Perkembangan Islam di Sumatera Selatan (Palembang: Yayasan Masjid Agung Palembang, 2001), hlm. 5.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hlm. 6.
[17] Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 6; Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang, 261 Tahun Masjid Agung dan Perkembangan Islam di Sumatera Selatan (Palembang: Yayasan Masjid Agung Palembang, 2001), hlm. 7.
[18] ARNAS, Laporan Politik 1858: 14; Storm vans Gravensande 1856: 457; Gibson 1856: 187; De Sturler 1843; 84).
[19] Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997).
[20] KITLV, H. 1083, 60: 31.
[21] Untuk ikhtisar perubahan pengajaran Islam dalam periode 1910-1942, lihat Steenbrink 1974: 10-77.
[22] Boemi Melajoe, 5, 26 Februari 1927: 2-3.
[23] ARA, Memorie van Overgave Van de Velde: 23)
[24] Pertja Selatan 18, 11 Februari 1928: 2.
[25] Al-Ihsan 1, 1927:1.
[26] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 211.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar