'Izzah Seorang Muslim
Kali ini saya ingin bahas soal ‘izzah (kemuliaan) sebagai Muslim. Yang namanya ‘izzah ini menimbulkan perasaan mulia dan bangga, karena kemuliaan itu membanggakan. Sebagai seorang Muslim, kita wajib memiliki ‘izzah. Tidak layak bagi kita untuk menghinakan diri. Islam bukan hanya mengajarkan tata ibadah yang wajib kita lakukan, tapi juga mengajari manusia akan jati dirinya. Layakkah manusia menghinakan dirinya, sedangkan Allah telah memuliakannya? Kita bisa melihat ayat berikut:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah." Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (Qs. 38:71-72)
Jauh sebelum Sigmund Freud berteori soal ego dan superego, Qur’an sudah memuliakan manusia karena jiwanya. Dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa jasad manusia hanya terbuat dari tanah. Setelah Allah s.w.t meniupkan ruh kepada jasad tersebut, barulah ia menjadi makhluk yang mulia. Banyak manusia yang salah mencari kemuliaan, karena mereka mencarinya dari hal-hal yang bersifat materi. Padahal, tubuhnya tidak lebih canggih daripada hewan, bahkan lebih lemah daripada kebanyakan binatang. Sebaik-baiknyanya fisik manusia, kelak akan hancur juga. Terobsesi dengan keindahan fisik adalah pilihan hidup yang salah.
Manusia dilengkapi dengan hawa’ (dalam bahasa Indonesia disebut nafsu), namun yang terjebak olehnya juga banyak. Hawa’ adalah alat kelengkapan untuk hidup, namun jika memperturutkannya, manusia menjadi hina. Hafal Surah An-Naazi’at? Lihat bagaimana Allah s.w.t menjelaskan ciri penghuni neraka:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (Qs. 79:37-39)
Kemudian lihat bagaimana Allah s.w.t menjelaskan ciri penghuni surga dalam ayat selanjutnya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (Qs. 79:40-41)
Perbedaan kontras antara surga dan neraka terletak pada cara manusia memperlakukan hawa’-nya. Jika manusia tunduk pada hawa’, maka lenyap kemuliaannya. Jiwa semestinya memegang kendali penuh. Manusia yang bertindak dengan akhlaq yang keliru berarti telah menodai kemuliaannya sendiri. Jika Anda melihat seorang raja kentut sembarangan, apakah Anda masih menganggapnya mulia?
Lalu mengapa manusia biasa yang bermacam-macam kondisinya harus menjaga akhlaqnya? Jawabannya adalah karena manusia bukan hewan. Manusia adalah khalifah (wakil) Allah. Perhatikan ayat berikut ini:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. 2:30)
Allah tidak menyamakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia adalah wakil yang Dia tunjuk langsung! Jika manusia menghayati perannya sebagai khalifah Allah, wajarkah ia bertindak seenaknya? Setiap manusia tidak kurang dari seorang khalifah, pantaskah berperilaku bak hewan? Banyak yang tidak memahami masalah ini. Karena itu mereka bertanya-tanya, “Mengapa segala hal diatur dalam Islam? Makan saja kok diatur-atur?” Karena yang makan adalah khalifah, maka ada aturannya. “Melangkahkan kaki saja kok ada aturannya?” Karena khalifah yang melangkah, maka tak bisa sembarangan. “Buang hajat saja kok ribet?” Karena khalifah tidak layak membiarkan dirinya kotor, itulah sebabnya.
Sadarkah Anda semua bahwa yang tengah mengajari Anda untuk menjadi mulia ini adalah Rabb kita semua? Allah telah memuliakan manusia, tapi manusia kerap lupa akan kemuliaannya. Maka dari itu kita diingatkan! Allah menciptakan manusia dengan kemuliaan, tapi kita kerap menistakan kemuliaan itu. Dan Allah tak henti-hentinya mengingatkan! Tanpa akhlaq yang benar, manusia bukan lagi makhluk mulia sebagaimana Sang Khaliq dulu menciptakannya. Untuk memiliki akhlaq yang baik, manusia harus memahami adab yang benar, dan yang paling utama adalah adab kepada Allah. Allah itu Maha Mulia, dan karenanya, orang yang memahami tugasnya sebagai wakil Allah pasti bersikap mulia.
Bagaimana jika ia menyekutukan Allah? Jika bukan wakil Allah, lantas wakil siapa? Adakah berhala-hala itu mengajarkan kebaikan yang sama sebagaimana Allah s.w.t mengajari kita? Mereka yang menghamba pada fanatisme kebangsaan, sebagai contoh, akan sibuk berperang demi kemuliaan palsu seperti kaum jahiliyah. Ketika Bani Aus dan Bani Khazraj diprovokasi Yahudi untuk saling memusuhi, Allah mengingatkan mereka dengan sebuah ayat. acalah ayatnya dengan pikiran terbuka ayat berikut:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Qs. 3:103)
Allah s.w.t-lah yang telah menyeru kita dengan lembut agar bangkit dari kejahilan dan kembali pada kemuliaan. Oleh karena itu, di antara semua kezaliman, menyekutukan Allah s.w.t adalah kezaliman terbesar seperti yang tercantum dalam ayat berikut:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. 31:13)
Kufur kepada Allah adalah kehinaan, dan sumber dari segala kehinaan lainnya. Bukan berarti seorang Muslim pasti terhindar dari perilaku keji, akan tetapi, kekufuran adalah biang kekejian. Oleh karena itu, seorang Muslim senantiasa mensyukuri nikmat iman dan Islam pada dirinya. Petunjuk Allah s.w.t adalah nikmat tak terbayangkan. Sebaliknya, kesesatan dari petunjuk tersebut adalah adzab yang tak terbayangkan pula. Tepatlah kiranya jika kita bercermin pada kata-kata Rasulullah s.a.w sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman. Yang pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. Yang kedua, ia mencintai saudaranya hanya karena Allah. Yang ketiga, ia benci kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia tak suka jika dilempar ke neraka.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang beriman, tidak bisa tidak, pasti merasakan kebanggaan sebagai seorang Muslim. Kini, ada orang-orang yang berusaha memalingkan umat Muslim dari kebanggaan tersebut. Ada yang bilang, bangga dan sombong itu tipis. Tapi pada saat yang bersamaan, ia tidak jelaskan batasannya.
Takabbur adalah sifat Iblis. Ia disebut takabbur ketika mengingkari perintah Allah. Oleh karena ingkar, ia disebut kafir. Takabbur adalah sifatnya makhluk yang kafir seperti yang tercantum dalam ayat berikut:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah36 kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Qs. 2:34)
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi s.a.w juga menjelaskan arti sifat sombong. Nabi s.a.w bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” Maka, kekafiran adalah kesombongan yang paling sejati. Sejalan dengan kisah Iblis tadi. Jika seorang Muslim merasa agamanyalah yang benar, apakah itu kesombongan? Jika seorang Muslim memandang kekafiran sebagai suatu kebathilan, apakah itu kesombongan?
Kerusakan pemikiran ini terjadi karena kita tidak memahami konsep-konsep dalam ajaran Islam dengan benar. Islam tidak perlu belajar toleransi dari Barat. Kita sudah memiliki pegangan yang pasti. Sikap thd agama lain adalah “lakum diinukum wa liyadiin”, tapi dibuka dengan “yaa ayyuhal kaafiruun.” Kita menghormati agama lain, membiarkan mereka beribadah sesuai ajaran agamanya. Akan tetapi, jangan sampai mengatakan bahwa agama kita sama atau semua agama itu benar. Hal ini karena mereka ingkar pada kebenaran! Kita yakin mereka mengingkari kebenaran karena kita yakin bahwa agama kita adalah kebenaran. Tengoklah bagaimana kita diperintahkan untuk berbicara dengan Ahli Kitab dalam ayat berikut:
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. 3:64)
Ayat ini kerap dimanipulasi oleh kaum liberalis. Seperti biasa, mereka memahaminya secara parsial. Awal ayat ini menyeru kepada para Ahli Kitab untuk berpegang pada kalimatin sawaa’. Kemudian kaum liberalis menyerukan agar kita mencari kalimatin sawaa’ ini dengan dialog antar agama. Apa benar begitu? Padahal, ayat tersebut sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimatin sawaa’. Kalimatin sawaa’ adalah “kita tidak menyembah selain Allah, tidak menyekutukan selain-Nya dan kita tidak menjadikan sebagian dari kita sebagai tuhan dari sebagian yang lain.” Jelas kan? Bahkan dijelaskan lebih lanjut: “Jika mereka berpaling, katakanlah: saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri.” Kalimatin sawaa’ bukanlah suatu hal yang bisa dicari-cari dan disepakati. Tauhid adalah harga mati bagi seorang Muslim. Jika Ahli Kitab tidak mengakuinya, maka itulah pilihan mereka. Seorang Muslim, pada akhirnya berkata dengan penuh ‘izzah: “Isyhaduu bi annaa muslimuun!”
Amat disayangkan, tidak sedikit Muslim yang tidak bangga dengan keislamannya. Tidak hanya kehilangan ‘izzah sebagai Muslim, mereka malah menganggap kekafiran sebagai keragaman semata. ‘izzah. Semoga Allah tidak mengembalikan kita pd kejahilan yang telah lampau, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar