Selasa, 09 Februari 2016

Selasa Kelam dan Zaman Malaise

Selasa Kelam dan Zaman Malaise

Ada siklus dalam sifat dasar ekonomi global, artinya keberhasilan ekonomi datang bergantian dengan resesi. Akan tetapi, di zaman modern ini, belum pernah terjadi resesi yang makin parah, makin panjang dan makin besar pengaruhnya terhadap ekonomi dunia seeprti resesi yang diawali dengan hancurnya Pasar Bursa Saham di New York pada tanggal 29 Oktober 1929, sebuah hari yang dikenang sejak saat itu dan setelahnya dalam sejarah sebagai Selasa Kelam.
Dasawarsa sekitar tahun 1920-an itu menjadi sebuah era di mana ekonomi berkembang pesat di sentero dunia, terutama di Amerika Serikat. Sampai abad ke-20, ekonomi Amerika tidak bergantung kepada ekonomi Eropa. Belum pernah terjadi bahwa seusai Perang Dunia I, Amerika Serikat bersekuru dengan negara-negara kuat Eropa, dan permintaan untuk produk-produk dari Amerika-yang paling signifikan, produk-produk peternakan-meningkat tajam.
Sebagai dampaknya, Amerika Serikat menjadi negara produsen nomor wahid dunia. Selain itu, negara ini juga unggul dan mapan di bidang keuangan maupun pertanian. Nilai saham-saham perusahaan di Amerika melejit karena banyak pihak, baik individu, maupun lembaga, menanamkan modal dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan yang sudah pernah dilakukan. Pengangguran nyaris tidak ditemukan; kesannya setiap orang memiliki banyak simpanan uang dan tinggal membelanjakan (baca: uang tinggal gesek). Bahkan, untuk menjual lebih banyak saham, pialang saham membuat kemudahan di mana calon pembeli dapat membeli saham “berlaba tipis” hanya dengan membayar sebagian kecil dari dari harganya dan menutup sisanya dengan cara “meminjam”. Meskipun praktik ini-memprediksi keuntungan berdasarkan harga yang pernah diperdagangkan-tampaknya sangat patut dipertanyakan dewasa ini, pada waktu itu harga saham terus melambung dan meningkat begitu cepat sehingga harga jualnya bisa dua tau tiga kali lipat dari harga beli. Ekonomi Amerika serta merta berubah menjadi sebuah gagasan visioner di mana kredit menjadi dewa penolong.
Sementara itu, di Eropa, para petani yang sudah pulih dari trauma pasca perang mulai menanam kembali. Sayangnnya, permintaan Amerika untuk komuditas Eropa menurun drastis karena pertanian dan peternakan di Amerika sudah dijalankan dengan efisien sehingga negara tersebut sanggup memperbesar produksinya.
Sebuah petaka akhirnya terjadi juga. Gagasan visioner yang mengagungkan kredit itu ternyata tidak dapat diwujudkan ketika pada tanggal 29 Oktober 1929, yaitu saat harga saham yang tertulis indeks saham mulai menukik. Akibat begitu banyaknya kredit namun begitu sedikit saham yang mempunyai nilai tetap dan begitu kecil uang segar yang tersedia, keberuntungan individu maupun lembaga-lembaga menguap seketika dalam waktu kurang dari 24 jam. Di Pasar Bursa Saham di Wall street, banyak pemberi modal tiba-tiba menyadari bahwa mereka jatuh miskin, ibaratnya terjun bebas dari sebuah gedung pencakar langit. Riak-riak kecil yang bermula dari Wall Street serta merta menjadi gelombang besar yang menelan bangsa itu, dan akhirnya dunia pun terkena imbasnya. Bank bangkrut, harga produk ternak merosot, bisnis dan pabrik tutup, perdagangan asing juga lenyap pelan-pelan.
Kehancuran ekonomi yang diawali dalam bulan Oktober 1929 mencapai titik nadir tiga tahun kemudian. Sekitar 30 juta orang kehilangan pekerjaan, sebagian diantaranya tinggal di Amerika Serikat. Zaman malaise berlanjut hingga lebih dari 10 tahun kemudian dan amat sangat mempengaruhi kehidupan kehidupan serta pandangan dari sebuah generasi. Zaman Malaise, dan sarana-saran pemerintah yang digunakan untuk mengatasinya, menciptakan sebuah titik balik dalam sejarah kebijakan ekonomi dunia abad ke-20. Namun, negeri Paman sam masih belum banyak belajar ketika peristiwa serupa tahun 2008 kembali terjadi.

Sumber: Buku 100 Events That Shaped World History


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut