Sidang KNIP 1947
KNIP merupakan badan pembantu Presiden yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai golongan dan daerah bahkan sebagian besar merupakan mantan anggota PPKI. KNIP merupakan cikal bakal dari DPR RI. KNIP terdiri dari 137 anggota dengan ketua Mr. Kasman Singodimedjo, wakil I M. Sutardjo Kartohadikusumo, wakil II J. Latuharhary, dan wakil III Adam Malik. Atas usulan KNIP dalam sidang di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1945, diterbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X dan sejak itu tugas, kedudukan, dan wewenang KNIP berubah dengan terlibatnya KNIP dalam kekuasaan legislatif dan ikut menyusun GBHN.
Pada tahun 1946, terjadi krisis kabinet dengan berhentinya Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Dengan pengunduran diri tersebut, pihak oposisi merasa berhak memeproleh mandat dari Presiden untuk menjadi formatur dalam pembentukan kabinet baru karena memiliki mayoritas suara di KNIP. Namun, apa yang diinginkan pihak oposisi tidak ditindaklanjuti oleh Soekarno-Hatta selaku kepala negara. Justru Moh. Hatta mengangkat Syahrir menjadi Perdana Menteri dan pokitik diplomasi dilanjutkan. Dalam perkembangan situasi politik tahun 1946 yaitu mundurnya Sutan syahrir karena dianggap menjual negara dengan menyetujui perjanjian Linggrajati, terjadi keanggotaan dalam tubuh KNIP dirasakan tidak sesuai lagi dengan konsep awal pembentukannya. Perlu diadakan suatu perubahan dalam keanggotaannya supaya lebih dapat merangkap semua golongan yang ada. Atas usul Presiden Soekarno, mulai sejak tanggal 10 Juli 1946 keanggotaan KNIP ditambah menjadi 512 anggota. Hal itu selanjutnya ditetapkan sebagai Dekrit Presiden tanggal 29 Desember 1946.
Pada sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 6 Januari 1947 golongan oposisi menolak dekrit tersebut karena dianggap inkonstitusional. Pertanyaannya adalah dapatkah Presiden dalam sistem parlementer mengeluarkan dekrit? Menurut pihak pro-Soekarno, hal itu merupakan hak prerogratif presiden. Menurut pihak oposisi, yang dapat menerima dan menolak dekrit adalah KNIP secara keseluruhan, bukan hanya Badan Pekerja KNIP (BP KNIP). Maka diputuskan untuk megadakan sidang pleno di Malang, pada tanggal 25 Februari – 5 Maret 1947.
Dalam sidang di Malang berlangsung dalam suasana yang panas dan tegang bahkan pihak pemerintah dan oposisi berimbang. Selain membahas masalah dekrit Presiden, di Malang juga membahas perjanjian Linggarjati dengan pihak Belanda. Sidang tersebut juga dihadiri Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Pada hari pertama sidang tidak menghasilkan keputusan apa-apa. Maka pada hari kedua, Bung Hatta tampil ke depan sidang untuk menyampaikan pidato. Pidato tersebut pada intinya membela keputusan presiden mengeluarkan dekrit tersebut. Jika dicermati, Bung Hatta sebenarnya tidak memiliki kekuasaan, bahkan yang bertanggung jawab memutuskan dekrit tersebut adalah Sutan Syahrir. Pidato Bung Hatta dilakukan dengan sangat berapi-api. Sehingga para anggota sidang, notulen, dan wartawan yang hadir sangat kagum dan terpukau oleh pidato tersebut. Dalam akhir pidatonya, Bung Hatta mengatakan “ Kalau dekrit Presiden tidak diterima, carilah Presiden dan Wakil Presiden lain”. Sidang yang semula riuh menjadi hening sejenak sampai kemudian terdengar tepuk tangan dari para hadirin. Pada akhirnya, dekrit Presiden diterima oleh KNIP, namun pihak oposisi tidak memberikan suara.
Pada hari ketiga, Bung Hatta kembali berpidato mengenai arti penting persetujuan Linggarjati bagi pemerintah. Sama seperti hari kedua, KNIP menyetujui penandatangan Perjanjian Linggarjati. Setelah menerima dekrit Presiden dan penandatanganan perjanjian Linggarjati, KNIP kemudian memberikan mosi percaya kepada kabinet Sutan Syahrir yang kedua.
Sidang KNIP ini berlangsung di Gedung Rakyat, tepat di sebelah utara alun-alun kota Malang. Kini gedung tersebut menjadi pusat perbelanjaan Mall Sarinah Plaza. Meskipun begitu, tepat di depan gedung tersebut didirikan Monumen Perjuangan KNIP untuk mengenang kembali sidang KNIP di Malang. Jika Sobat Sejarah Dunia berkunjung ke Kota Malang atau ke Kota Wisata Batu, sempatkanlah mengunjungi monumen KNIP ini.
Sumber: Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar