Kamis, 11 Februari 2016

SELAT MURYO (MURIA) : LAUT YANG DITELAN BUMI

SELAT MURYO (MURIA) : LAUT YANG DITELAN BUMI


Siapa sangka bahwa Pantura Demak – Pati itu adalah bekas laut? Mungkin tidak ada yang pernah mengira sebelumnya. Tapi suatu keanehan terjadi di fenomena alam lokal, di sepanjang daerah Demak ke timur yang terletak di sekitar jalan pantura, jika menggali sumur bor lebih dari 20 meter bisa dipastikan airnya asin. Lha kok bisa? Kita tidak bisa menduga bila tidak ada kajian geologis dan historis mengenai struktur tanah di daerah tersebut. Ternyata fenomena air asin ini tidak hanya di temukan di daerah Demak saja. Fenomena ini juga terjadi sampai di daerah Kuwu, wilayah Kabupaten Grobogan. Daerah Kuwu ini terdapat geyser yang selalu menyemburkan lumpur panas dan mempunyai kadar garam yang sangat tinggi, sehingga bisa dibuat garam. Tidak hanya itu, di Bukit Pati Ayam ditemukan fosil-fosil kerang yang menandakan bahwa sejak jaman Purba (lebih tepatnya di jaman Pleistosen) daerah tersebut adalah pantai.
Struktur tanah di Demak, terutama di sekitar jalan pantura sedikit berbeda dengan tanah di daerah lain. Tanahnya berwarna hitam pekat, empuk dan berupa tanah lempung, menandakan sturktur tanah aluvial (tanah endapan lumpur) di daerah delta sungai. Struktur tanah ini sangat subur dan sangat baik untuk daerah pertanian. Sehingga penduduk di daerah tersebut paling banyak berprofesi sebagai petani dengan hasil pertanian yang utama adalah padi, dan Demak dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.
Berdasar keadaan topografis Demak terbagi dalam 3 sub bagian yaitu:
1. Sub A dengan ketinggian 0-3 meter meliputi sebagian Kecamatan Bonang, Demak, Karangtengah, Mijen, Sayung dan Wedung.
2. Sub B dengan ketinggian 3-100 meter meliputi Kecamatan Dempet, Karangawen, Mranggen, Wonosalam, Guntur, Gajah, Karanganyar dan beberapa dari sebagian kecamatan-kecamatan di wilayah sub A.
3. Sub C dengan ketinggian lebih dari 100 meter meliputi sebagian kecil Kecamatan Karangawen dan Mranggen.
Berdasarkan drainase permukaan tanah terbagi dalam daerah tanah yang tidak tergenang 72,85%, daerah yang kadang-kadang tergenang 23,85%, dan daerah yang tergenang sepanjang tahun 3,32%. sedangkan untuk daerah Pati dan Kudus presentasi untuk tanah alluvial cukup tinggi, daerah Kudus 8%, sedangkan daerah Pati 40,82%.
Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa sebagian wilayah Demak-Pati yang sekarang menjadi jalan pantura utama di abad 15 M masih berupa selat yang berupa Selat Muryo (Selat Muria). Selat ini memisahkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Muryo (Muria). Pulau Muryo adalah sebuah pulau yang sekarang menjadi kawasan Pegunungan Muria ke utara sampai ke Jepara. Hal ini bermula dari pencarian tentang lokasi pusat Kerajaan Demak yang diindikasikan tidak jauh (lebih tepatnya berada di tepi) dari pantai. Namun proses sedimentasi yang semakin terasa mulai dari abad 17. Sekarang hasilnya menjadi daratan utuh dan menjadi tanah aluvial yang subur sebagai tanah pertanian.
>>Bukti-bukti fisik
Bukti-bukti fisik yang menandakan wilayah Demak-Pati merupakan bekas laut adalah air tanah yang rasanya asin. Sebenarnya tidak asin benar, tapi asin air payau. Kemudian struktur tanah yang berupa tanah lempung yang berwarna hitam pekat dan sangat subur untuk daerah pertanian, merupakan tanah endapan sungai. Hal ini sangat dimungkinkan karena mengalir beberapa sungai yang membawa debit air yang cukup besar, yaitu Kali Serang, Kali Juwana dan Kali Tuntang. Namun semua sungai itu telah mengalami pendangkalan sehingga semakin sempit dan dangkal. Selain itu juga ditemukannya kadar garam yang cukup tinggi di daerah Kuwu yang berupa geyser dengan kadar garam yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat garam.
Selain bukti fisik yang dapat diketahui sekarang, juga terdapat bukti-bukti kesejarahan. Bukti kesejarahan yang menandakan bahwa pernah ada yang namanya Selat Muria adalah catatan dari jaman Susuhunan Pakubuwono I yang menyatakan bahwa pernah ada penggalian 1657 oleh Tumenggung Pati untuk menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, sehingga Juwana dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi, ia ingin memulihkan jalan air lama, yang seabad sebelumnya masih bisa dipakai untuk memperdalam selat dari Demak sampai Pati. Pada abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati, di tepi Sungai Juwana.
Ada beberapa cerita rakyat yang bisa menjadi sumber tentang keberadaan selat itu, yaitu tentang nama-nama desa di kawasan Kabupaten Kudus. Misal nama Undaan, sebuah kecamatan yang terlatak di barat daya Kabupaten Kudus. Kata Undaan berarti undak-undak, karena menurut cerita rakyat dulunya adalah pantai yang berbentuk sseperti tlundakan (anak tangga). Ada juga nama desa Tanjung Karang yang terletak di sebelah utara Kecamatan Undaan. Menurut cerita rakyat desa ini dulunya berupa pantai semenanjung yang terdiri dari karang-karang.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Demak dulu berlokasi di tepi laut, tetapi sekarang jaraknya dari laut sampai 30 km, dapat diinterpretasikan dari peta genangan air yang diterbitkan Pemda Semarang. Peta genangan banjir dari Semarang sampai Juwana ini dengan jelas menggambarkan sisa-sisa rawa di sekitar Demak sebab sampai sekarang wilayah ini selalu menjadi area genangan bila terjadi banjir besar dari sungai-sungai di sekitarnya. Dari peta itu dapat kita perkirakan bahwa lokasi Pulau Muryo ada di sebelah utara Jawa Tengah pada abad ke-15 sampai 16. Demak sebagai kota terletak di tepi sungai Tuntang yang airnya berasal dari Rawa Pening di dekat Ambarawa.


>>Laut Purba
Ternyata Selat Muria sudah ada sejak zaman Pleistosen. Hal ini ditandai dengan adanya penemuan-penemuan fosil-fosil binatang laut purba yang ditemukan di situs pati Ayam yang berlokasi di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Bukit Pati Ayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya mencapai 2.902,2 hektar, yang tersebar di wilayah Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus ( 1.573,5 hektar) dan di wilayah Kecamatan Margorejo, Gembong, Tlogowungu Kabupaten Pati, 1.328,7 hektar. Secara morfologi menurut Yahdi Zaim dari Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Perbukitan Pati Ayam merupakan kubah (dome) dengan puncak ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Batuannya berumur sekitar 1 juta hingga 700.000 tahun atau pada masa plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba (homo erectus). Jenis-jenis fosil binatang laut purba yang ditemukan antara lain adalah dua buah fosil kerang raksasa yang diperkirakan berumur satu juta hingga 700.000 tahun. Fosil ini masih cukup lengkap, mulus, berukuran lebar sekitar 30 cm, sehingga dengan mudah dikenali sebagai bentuk kerang laut, namun ukurannya antara tujuh hingga sepuluh kali lipat dengan kerang yang ada sekarang pada umumnya. Ini menandakan bahwa wilayah perbukitan Pati Ayam dulunya adalah pantai yang menjorok ke laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut