Kamis, 19 Maret 2015

Tentang Surah Al-Kaafiruun

Tentang Surah Al-Kaafiruun
Saya ingin kembalikan diskusi ke pangkalnya. Ada apa dengan Surah Al-Kaafiruun? Mengapa Surah Al-Kaafiruun sering dijadikan dalil untuk pluralisme agama? Paling tidak, orang kritis harus mempertanyakan dua hal sehubungan masalah ini. Pertama, apakah “lakum diinukum wa liyadiin” berarti “agama selain Islam juga benar”? Kedua, bagaimana konteks sejarah ketika Surah Al-Kaafiruun diturunkan?
Ingat, awalnya adalah pada paham pluralisme yang menyatakan semua agama benar. Lalu dikaitkan dengan Surah Al-Kaafiruun. Pertanyaan pertama relatif mudah dijawab. Karena di ayat satu Surah Al-Kaafiruun ada kalimat “yaa ayyuhal kaafiruun.” Jelaslah bahwa surah ini ditujukan kepada orang-orang kafir. Apa arti kafir? Yaitu ingkar. Ingkar kepada apa? Ya, ingkar kepada Allah, ingkar kepada agama Allah, yaitu Islam. Tau darimana agama yang Allah benarkan hanya Islam? Ya, dari surat Ali Imran [3]:19 yang berbunyi “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”
Jadi, “lakum diinukum wa liyadiin” itu untuk orang-orang yang mengingkari Allah. Apa agama mereka benar? Parafrase kembali pertanyaannya! Apa kita bisa mengatakan bahwa agamanya orang-orang yang mengingkari Allah itu benar? Jelaslah bahwa “lakum diinukum wa liyadiin” tidak sama dengan mengatakan “agama yang lain juga benar”. Sebaliknya, “lakum diinukum wa liyadiin” diperuntukkan bagi mereka yang agamanya salah karena mengingkari Allah. Tapi biarpun agamanya salah, kita diperintahkan untuk toleran. Tapi toleransi ya jangan kebablasan. Jangan lagi mempertanyakan: Apakah Nasrani dan Yahudi itu kafir? Dari dulu juga mereka disebut kafir. Coba baca Qs. At-Taubah [9]:30-31 yang berbunyi sebagai berikut:
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. At-Taubah [9]:30-31)
Mereka disebut Ahli Kitab karena alasan dakwah; merekalah obyek dakwah paling utama, karena mereka masih mewarisi sebagian isi kitab-kitab terdahulu, maka diharapkan mereka akan lebih cepat merengkuh hidayah.
Kembali ke Surah Al-Kaafiruun, sejarahnya sangat termasyhur, seharusnya setiap Muslim tahu. Kalau ngakunya pake hermeneutika, harus melihat asbabun nuzul dan konteks pada zaman itu. Surah Al-Kaafiruun diturunkan ketika orang-orang musyrik di Mekkah mengajak Nabi s.a.w berkompromi soal agamanya. Mereka mengajak Nabi s.a.w untuk menyembah Allah s.w.t dan berhala-berhala secara bergantian. Jawaban terhadap ajakan yang tidak patut ini adalah Surah Al-Kaafiruun. “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya.
Jadi, konteks sesungguhnya dari Surah Al-Kaafiruun bukan toleransi, apalagi pluralisme agama. Konteksnya adalah penolakan tegas untuk mengkompromikan Islam dengan selainnya. Kalau ayat terakhir, ya memang tentang toleransi. Kalau yang dibaca hanya “lakum diinukum wa liyadiin”, maknanya bisa macam-macam. Ya itulah kerjaan liberalis yang menafsirkan ayat sesuka hati mereka.
Sekarang kita teliti, seperti apa sih kaum musyrikin yang ditolak mentah-mentah agamanya oleh Nabi s.a.w ini? Kaum musyrikin Mekkah sesungguhnya adalah pewaris syari’at Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Isma’il a.s. Di kota mereka ada Ka’bah dan mereka setia memuliakannya. Mereka juga berhaji dan berthawaf mengelilingi Ka’bah. Kalau ditanya siapa Rabb-nya, mereka akan menjawab “Allah!” seperti yang tercantum dalam Qs. Yunus [10]:31. Jadi, jangan kira kaum musyrikin ini secara zhahir berbeda 180 derajat dengan kaum Muslimin pada masa itu. Sebaliknya, mereka justru sangat mirip karena mewarisi ajaran tauhid. Sayangnya, banyak noda-noda kemusyrikannya juga. Nah, terhadap kaum musyrikin yang juga mengaku menyembah Allah inilah Surah Al-Kaafiruun diturunkan! Bayangkan, sama-sama mengakui dan menyembah Allah, tapi ‘dihadiahi’ sebutan Al-Kaafiruun karena menyembah berhala. Sebenarnya nggak aneh sih, karena Iblis juga mengakui Allah tapi toh dia disebut kafir juga seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah[2]:34 yang bunyinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah36 kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Baqarah[2]:34)
Nah, jika yang mengakui Allah saja bisa disebut kafir lantaran menyekutukan-Nya, apalagi yang tidak mengakui Allah? Orang-orang musyrik menyembah berhala dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah seperti yang tertera dalam Qs. Az-Zumar [39]:3, tapi mereka disebut kafir. Bagaimana halnya orang-orang yang sejak awal tidak mengakui Allah dan tidak menyembah Allah? Ya, jelas kafirnya! Lalu, jika orang-orang yang berbuat kemusyrikan ini agamanya salah, bagaimana dengan yang sama sekali tidak menyembah Allah?
Disinilah pluralisme gagal total. Mengakui kebenaran semua agama tidak ada landasannya dalam Islam. Surah Al-Kaafiruun yang cuma beberapa ayat itu telah menolak klaim pluralisme secara efektif. Inilah mukjizat Al-Qur’an. Makanya saya heran, kok kalau membahas pluralisme agama yang diangkat malah Surah Al-Kaafiruun. Padahal justru Surah Al-Kaafiruun itulah Surah Anti Pluralisme yang sesungguhnya! Nanti ada saja yang berkilah, “Siapa bilang pluralisme menganggap semua agama benar?”
 

DIRANGKUM DIBERBAGAI SUMBER...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut